“Garis batas
adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita adalah seonggok tubuh yang selalu
membawa garis batas portabel ke sana ke mari. Garis batas menentukan dengan
siapa kita membuka hati, dengan siapa menutup diri.
Di hadapan
orang yang sama sekali asing, kita mengalihkan pandangan. Ketika berada di
keramaian, kita membaca buku atau menerawangkan pandangan kosong. Ketika
seorang tak dikenal menyentuh, kita merasa tak nyaman. Namun ketika yang
membelai adalah kekasih, kita menerima dengan senang hati. Di antara
kawan-kawan dan handai tolan, kita membagi-bagi dalam spektrum kategori: akrab
sekali, hubungan biasa, kawan jauh, hingga orang luar. Melalui garis batas,
kita meraba dunia luar. Melalui garis batas, kita berlindung dari dunia luar.”[pg. 46]
Cuplikan
kalimat di atas bukanlah bagian dari prolog maupun epilog dari buku karya
Agustinus Wibowo ini. Namun bagi saya sepenggal paragraf tersebut sudah cukup menjadi
ruh untuk menggambarkan keseluruhan tulisan petualangan di Garis Batas. Dalam
skala terkecil, tiap individu sudah pasti memiliki lingkaran-lingkaran batas masing-masing,
begitu pula pada skala populasi yang lebih besar seperti bangsa dan negara.
Bangsa memiliki garis batas-garis batas sebagai penanda wilayah yang harus
dijaga dan dilindungi sepenuh jiwa raga. Tak heran, di tiap-tiap garis perbatasan di manapun itu, akan selalu
tervisualisasikan kesan keras nan tegas. Bayangkan bumi yang terdiri dari
sekian ratus negara, memiliki sekian ribu garis batas? Itu berarti bumi
memiliki garis-garis kehidupan yang begitu keras di setiap persimpangan antar
bangsa. Adakah bangsa yang bebas dari nuansa persaingan? Pertanyaan saya
selanjutnya yang membuat sejenak menerawang jauh melintas imajinasi tentang
perbatasan nusantara –tanah air saya sendiri, dan negara-negara tetangga.
Garis Batas
mengupas perjalanan Agustin di lima negara pecahan Uni Soviet --Asia Tengah.
Negara-negara tersebut adalah Tajikistan, Kirgiztan, Kazakhstan, Uzbekistan,
dan Turkmenistan. Negara-negara yang merupakan "remah-remah" rezim Stalin ini
memiliki karakter-karakter yang berbeda-beda meskipun berasal dari satu akar
rumpun. Pengkotak-kotakan dan pemaksaan karakter itu terjadi pada saat Soviet
merancang negara-negara artifisial di bawah naungan sang adikuasa Soviet. Apa
yang terjadi pada negara-negara itu mungkin bagi kita di dunia yang jauh dari
ranah-ranah tersebut akan memiliki kesan hebat. Tetapi tidak bagi mereka. Benar
kata pepatah yang telah jamak dikenal khalayak bahwa rumput tetangga terkadang terlihat
lebih hijau daripada rumput di halaman sendiri.
Akhiran stan di
belakang nama-nama negara itu bukanlah tanpa arti. Pernyataan apalah arti
sebuah nama tidak berlaku bagi negara-negara stan ini. Stan berasal dari bahasa Persia --istan, yang berarti
tanah. Jadi Tajikistan akan berarti tanah milik bangsa Tajik; Kirgiztan berarti
tanah milik bangsa Kirgiz; dan seterusnya. Begitu pula dengan Pakistan,
Hindustan, Afghanistan. Hal ini memiliki kemiripan dengan asal mula kata
Thailand yang berarti tanah (land)
milik bangsa Thai. Namun yang membedakan, kemunculan negeri-negeri stan di Asia Tengah ini dimotori oleh
kehadiran Rusia di Asia Tengah. Legenda Turkistan, tanah milik bangsa Turki, umat
Muslim dengan jalur sutranya, dipecah oleh Rusia melalui politik divide et impera. Garis-garis batas
ditegaskan; bangsa-bangsa dikotak-kotakkan; etnis dihapus, dilebur, dilupakan!
Di Tajikistan,
nama-nama yang bercitra Islami dimetamorfosa, dimodifikasi agar memiliki kesan
Russian, terdiri atas nama marga, nama sebenarnya, lalu diikuti nama ayah. Sebagai
contoh, Ali bin Mahmud bin Abdullah akan menjadi Abdullayev Ali Mahmudovich. Keren
bin modern bukan? Bagi orang kita
nama-nama seperti ini akan menjadi kebanggaan. Namun tidak bagi mereka, itu
sama sekali tidak keren apalagi modern. Bagi mereka itu adalah bagian dari
penjajahan, bagian dari pemaksaan. Sama sekali tidak membuat bangga. Garis
batas dengan negeri Afghanistan begitu tegas meskipun itu hanya aliran sungai.
Mereka berdampingan namun begitu berbeda. Mereka berdampingan namun tak saling
tahu selain apa yang terlihat dari balik garis batas dan apa yang terlihat
dari balik tapis itu belum tentu benar.
Permulaan
bangsa yang Muslim itu, kini telah terpengaruh citra Rusia. Banyak yang mengaku
Muslim namun belum tentu menjalankan shalat atau puasa. Tidak jarang mereka
begitu bangga dengan kaligrafi kalimat-kalimat Arab namun tak mengerti artinya
dan seakan tak ingin tahu. Ada pula yang meyakini bahwa puasa dapat dikerjakan
dengan sistem "patungan" atau menjamu tamu setara dengan menunaikan ibadah
haji. Vodka juga bukanlah sesuatu
yang asing pada kehidupan individu yang mengaku muslim di negara tersebut. Di
Turkmenistan, sang Turkmenbashi --pemimpin tertinggi Turkmenistan, bahkan membuat kitab suci yang
begitu diagung-agungkan dan menjadi buku teks wajib yang harus dihafalkan anak
sekolah hingga peserta tes pegawai negeri. Garis batas yang telah dilukis di
atas lembaran peta dunia ini telah mengubah kultur-kultur bangsa itu menjadi
begitu berbeda.
Begitu banyak
hal yang berada di luar jangkaun indera penglihatan kita saat mencoba menembus
garis-garis batas hingga sampai di secarik kecil potret negeri-negeri tersebut.
Teropong lensa ini begitu terbatas sedangkan kultur mereka begitu luas dalam
berbagai aspek baik ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan keyakinan. Menyelami cerita Avgustin --begitu "nama Rusia" Agustin, dari negara demi negara, tapal batas yang satu dan tapal batas
yang lain terkadang membuat saya terperangah, termenung, terkejut, dan turut
tegang. Hingga akhirnya saya tiba pada kesimpulan: garis batas itu kejam.