Satu tahun yang lalu engkau bilang:
gedung-gedung maha tinggi itu menyapamu
Lalu tukasku:
Tidak kurasa, ia membisu,
dan yang Mahatinggi hanyalah Engkau.
–Jakarta, 2 Juni 2013
Akhirnya saya menanggalkan Jakarta dari habitat semula.
Mengganti pelbagai riwayat tempat tinggal, memperbaruinya dengan kota yang
baru.
Namun, mencoret Jakarta tidaklah semudah membubuhkan dua
garis hitam di atas jajaran tujuh huruf itu. Sebagai kota yang telah
menggoreskan begitu banyak kenangan –meski hanya sejenak, ia mengajarkan saya
banyak hal. Ia memperkenalkan saya pada dunia yang baru. Ia membukakan jendela
dunia itu, mempersilakan, memberikan ruang nan lapang untuk sebuah saujana.
Saya rasa semua itu tidaklah sebanding dengan tetes peluh
saat turut berjejalan di dalam moda transportasi seperti Commuter Line atau
Trans Jakarta. Tidak pula dengan kekhawatiran atas hal-hal negatif yang mungkin
saja terjadi dalam setiap perjalanan di kota tersebut, entah angkutan kota atau
sekedar berjalan santai di trotoar seputar Bundaran Hotel Indonesia. Jakarta
mengajarkan saya untuk waspada ketika Ia memutar adegan seorang mancanegara kehilangan
dompetnya. Miris. Begitukah cerminan ibukota, yang selayaknya menjadi ruang
penyambutan bagi tamu dari luar negeri?
Jakarta menahbiskan pula makna kesabaran. Ruas-ruas jalan
yang senantiasa penuh dengan kendaraan. Tak jarang meluap ke tepian, hingga
para pejalan kaki (seperti saya) kehilangan kenyamanannya. Belum lagi, bila
jarak mengharuskan untuk menikmati jasa transportasi publik. Stagnan, tidak
bergerak sama sekali selama beberapa menit yang kemudian berulang kembali
beberapa kali (pula), adalah suatu kelaziman. Mahfum, apabila teriakan,
gerutuan kesal, lengkingan klakson lalu meramaikan suasana yang sudah ramai.
Maklum, jika hari telah senja, para sopir angkutan umum seringkali kehilangan
kesabarannya. Apakah target setoran hari itu belum mencapai target?
Jakarta membawaku melihat kolong-kolong jalan layang,
tepian rel, juga bantaran sungai. Ah, tidak usah sejauh itu. Cukuplah dalam setengah
jam perjalanan di Metromini menuju Blok M dengan hiburan yang tak
henti-hentinya silih berganti. Para pengamen atau pedagangan asongan, laki-laki
maupun wanita, beragam usia, dengan sejuta ‘kreativitas’ yang mereka tawarkan.
Ucap saya di dalam hati: ada-ada saja cara mereka mengais rezeki untuk
menyambung kehidupan. Inikah wajah Jakarta? Mengapa harus Jakarta?
Jakarta adalah ruang prestisius. Bangunan-bangunan tinggi
menjulang megah. Central business
district terus-menerus dikembangkan. Mal dan apartemen bermunculan seperti
jamur di musim penghujan. Kompetisi pelik pada setiap lini massa dan masa.
Dan Jakarta adalah kota yang secara tidak sadar telah
melakukan pembodohan publik. Jakarta adalah kota metropolitan yang seakan tidak
ingin dijuluki Jawa.
“Aku ingin ke
Jawa?” ucap seorang kawan.
“Memangnya sekarang kamu tidak sedang di Jawa?”
Jakarta memang bukan di Jawa ya, dan Jawa tidak memangku
Jakarta. Sering ingin menghela napas panjang kalau sudah begini. Demi prestige?
Mencoba hidup di Jakarta, rasanya bukan sesuatu yang salah. Saya lalu teringat celetukan paman beberapa waktu yang lalu. Beliau berkata bahwa kelak saat saya meninggalkan Jakarta dan kembali ke rumah, saya akan mengerti bersyukur. Dan itu benar. Apabila banyak orang berargumen bahwa Jakarta adalah kota yang keras, kota yang tidak ramah, hal itu pun benar. Jakarta serupa ruang sempit yang tidak muat untuk menyelonjorkan kaki. Jakarta bagaikan rumah yang sesak untuk bernapas.
Tetapi,
"Aku tak diperbolehkan ke Jakarta," seru serempak kawan-kawan.
Lalu aku hanya tersenyum.
Jakarta telah menyimpulkan lengkung cekung di sini.
:)