Jumat (24/04)
saat saya membuka akun Instagram, saya menemukan info Pasar-Pasaran di Garden Café, Ubud hari Ahad (26/04), melalui @vitarlenology.
Segera saya menelusuri kabar tersebut lebih lanjut dan memutuskan untuk datang.
Pasar-Pasaran merupakan ajang unjuk gigi para pelaku seni dan penyuka kerajinan
tangan usia muda. Skalanya cukup kecil jika dibandingkan dengan Pasar Seni ITB
yang sangat padat, hanya sekitar dua puluh-an peserta.
Jarak Rumah
Intaran dengan daerah-daerah keramaian turistik seperti Ubud tidaklah dekat. Saya
dan Haps harus menempuh perjalanan menembus dingin dan berkabutnya kawasan
Kintamani yang tidak singkat. Cuaca saat itu mendung sedari rumah. Perjalanan
yang direncanakan melewati Tegallalang berubah karena kami terlambat berbelok.
Akhirnya kami mencapai Ubud via jalur Tampaksiring yang ramai dengan truk-truk
pasir dari Gunung Batur, Kintamani. Dua setengah jam akhirnya mengantarkan saya
dan Haps di depan gerbang Garden Café.
Mengamati booth demi booth membuat saya kagum dengan kreativitas anak-anak muda ini. Hal-hal sederhana bahkan daur ulang dapat disulap menjadi sesuatu yang artsy. Para seniman muda ini juga meminimalkan penggunaan plastik pada kemasan dan dekorasi.
Kebahagiaan adalah saat secara tidak terduga kamu bertemu seseorang yang kamu kenal.
Begitulah pula
yang terjadi hari itu. Saya tidak membuat janji dengan siapapun hari itu.
Tetapi Tuhan menggariskan saya bertemu Dyan dan Jessica. Saya mengenal mereka
berdua sejak kunjungan mereka ke Rumah Intaran sekitar dua bulan lalu.
Selanjutnya saya bertemu kembali dengan Dyan dalam Belajar dari Desa. Walaupun
sesaat tetapi menyenangkan sekali, dunia itu sempit bukan? Setelah bercakap
sejenak, saya, Dyan dan Jessica memutuskan berpisah untuk melanjutkan pengembaraan
masing-masing di Pasar-Pasaran.
Dua jam di
Ubud, saya dan Haps memutuskan pulang setelah bertemu Eka, pada pukul
empat. Kali ini kami melalui jalur
Tegallalang-Singaraja. Kabut di Kintamani lebih tebal, dingin masih menusuk
dengan dobelan-dobelan jaket dan pashmina. Gerimis kecil pun mulai turun.
Jarak pandang benar-benar terbatas. Sinyal ponsel tenggelam selama satu jam –seperti
biasa. Menembus gunung dari Bali Utara menuju Bali Selatan memang butuh niat
dan mental kuat.
Lebih dari itu, bagi saya mengenal daerah di mana tempat
kita merantau adalah suatu bentuk proses adaptasi.