Ahad, 27 Mei 2012
Pagi menjelang siang
akhirnya saya sampai di daerah Sentul City. Daerah yang begitu asing bagi saya
yang berasal dari zona adem ayem, Yogyakarta-Surakarta. Bangunan-bangunan
dengan arsitektur mentereng mulai tertangkap lensa mata saya. Namun bukan tanpa
tantangan ketika saya menyetujui usulan bapak dan ibu tercinta untuk
meninggalkan zona nyaman. Saya harus tinggal di rumah kost yang mana jarak itu
sekitar sepuluh menit berjalan kaki cepat dari jalan raya. Jalan kaki? Ya, karena
tidak ada akses kendaraan roda empat menuju kost. Mungkin ada, tetapi harus
memutar jauh terlebih dahulu. Bahkan kendaraan roda dua pun saya tak bisa
bayangkan jika ada yang berpapasan mengingat lebar jalan itu tak lebih dari
satu meter.
Untuk menuju rumah
kost, saya pun harus melintasi jembatan yang ketika kaki mulai menjejak di
atasnya, jembatan itu akan bergoyang. Pagar pengaman pun hanya sekedarnya, saya
tidak berani dengan santai melenggang di atasnya demi membuang mata ke
pemandangan di sekitarnya. Ya, sesekali saya memang celinguk ke kiri kanan. Di
sisi kiri saya jumpai anak-anak yang tengah berenang dan ibu-ibu yang sedang
mencuci baju, padahal air sungai itu begitu keruh. Sementara di sisi kanan
sedang ada proyek pembangunan yang jika ditilik dari tipikal bangunannya, saya
memperkirakan itu adalah restoran yang terintegrasi dengan bangunan di
sekitarnya. Terasa ironis.
Selepas mendarat di
daratan seberang, saya jumpai perkampungan penduduk. Inilah bumi Cadas Ngampar
itu. Anak-anak berlarian di lapangan, anak-anak yang lebih kecil bersepeda di
jalan kampung yang kira-kira hanya dua meter. Dan akhirnya sampailah saya di
kamar baru saya yang subhanallah luas sekali. Dua kali kamar kost saya semasa
kuliah dan satu setengah kali kamar pribadi saya di rumah. Lengkap dengan kamar
mandi dalam dan bed berukuran 120x210
cm. Cukup luas untuk saya huni sendirian.
Kemudian saya, bapak,
sepupu, dan om saya yang turut mengiringi langkah saya memutuskan untuk
mengenalkan saya dengan kompleks Tazkia. Kesan pertama saya: panas, gersang,
gerah, mudah haus. Photo session pun
dimulai di Masjid Andalusia STEI Tazkia sebelum akhirnya sekitar satu jam
kemudian bapak bilang, “Tak tinggal ya, aku pulang sekarang. Kamu mau pulang
juga, atau main-main dulu.” Saya jawab, “Main-main dulu,” sayang sekali
melewatkan waktu untuk lekas pulang ke rumah kost. Maka salam dan jabat tangan
perpisahan sementara pun terjadi. Kulihat tetes mata di kedua pelupuk mata
bapak. Nyaris aku pun ingin meneteskan air mata...(meski akhirnya detik ini,
saat menuliskan hal ini pun menetes).
Bapak, entah kenapa
aku mudah sekali menangis jika mengingatmu dan berpisah denganmu. Betapa
beberapa bulan yang lalu aku
berhari-hari menangis selepas kau tinggal ke tanah haram sebulan sebelum hari
pendadaranku. Hingga akhirnya kita bertemu lagi setelah aku menyelesaikan ujian
akhir strata satuku. Masih berbalut dresscode
ujian akhir, kupeluk erat dirimu dengan uraian air mata pula.
Nasihatmu yang
kutangkap beberapa hari sebelum keberangkatanku ke Sentul, “Nanti di sana,
niatkan dirimu untuk mencari ilmu. Itu yang terpenting.” Lalu kau bacakan ayat
11 surat Al Mujadalah. “Tujuan mencari uang itu penting karena manusia nggak
bisa hidup tanpa uang. Tapi jangan semata-mata tujuanmu hanya untuk uang...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar