kita menyusun batu bata, namun sesungguhnya kita adalah batu bata itu.yang ketika sendiri bukanlah apa-apa.yang mampu berdiri tegak saat bersama,bahu membahu.
Pada suatu pagi, lima bulan yang lalu, hari pertamaku memulai cerita baru. Lembaran baru perihal pekerjaan, juga arsitektur. Awal coretan yang sambung-menyambung hingga detik ini. Hari yang baru untuk mengawali bekerja di kota kelahiran setelah sebelumnya bertualang dari satu kota ke kota lain. Pencarianku berakhir untuk kembali dimulai di dan dari kota ini.
Aku tiba di halaman depan kantor ketika angka 08:05
tertera di perangkat digitalku. Masih sepi. Kuraih handle pintu kaca dan mencoba menariknya. Ups, masih terkunci.
Memang, saat akhir sesi wawancara aku diwanti-wanti untuk datang pukul setengah
sembilan saja. Beginilah, harus menunggu dahulu. Hingga akhirnya seseorang
membukakan pintu beberapa menit kemudian, dan satu persatu penduduk kantor mulai
menampakkan diri. Ternyata mereka datang melalui pintu belakang dan menyimpan
kendaraan di basement. Itulah mengapa
halaman depan sepi kendaraan kecuali kendaraan tamu saja.
Kemarin komisaris utama berpesan agar hari ini aku
menemui direktur utama yang ternyata berhalangan hadir. Lalu, dipertemukanlah aku
dengan teman-teman sedivisi. “Ini Mas Afdul, nah nanti Mas Afdul yang akan
menjelaskan..”
Seseorang berbalik dari meja komputernya, “Ini Mas
Samsul..” seseorang duduk di meja itu, “..ini Pak Totok..” seseorang datang
dari belakang, “..ini Pak Roy, ini ...” hingga “..ini Mas Dody Namratus..”
tukas Mas Dul.
Dahiku rasanya berkerut, “Kenapa namratus?” tanyaku
bingung.
“Coba baca Namratus dari belakang. Itu nama belakangnya.” Hah, ada-ada saja.
“Jadi ini artisek..eh artistek yang baru?” sahut Mas Dod.
Begitulah, hari pertamaku dimulai dengan perkenalan di ruang depan hingga basement. Menemui sosok-sosok baru dengan karakternya masing-masing. Hari pertama yang membuatku mencicipi berbagai rasa yang
ditawarkan teman-teman baru, untuk menuju hari-hari selanjutnya dengan segenap
warna itu.
Dan kini...
Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang sempurna, memiliki
kelebihan dan kekurangan. Namun setiap hal itu tentu harus disyukuri. Aku
belajar berbagai hal di tempat itu. Tidak hanya tentang profesionalitas, tidak
hanya upaya materialitas, tetapi juga suatu hal yang lebih esensial dalam hidup
ini: bekal menuju fase hidup selanjutnya. Aku tak mengira perahuku akan
bersandar di ruang-ruang yang ditunjang sisi-sisi religius: kajian dan tilawah
pekanan. “Ibadah dulu, baru kerja, “ sepotong kata yang masih kuingat dalam
rangkaian pesan sang komisaris beberapa waktu lalu.
Terima kasih..
Untuk untaian semangat pantang menyerah,
semangat belajar tanpa henti,
semangat perjuangan.
Untuk tawa dan canda.
Untuk kritik yang membangun.
Untuk semuanya..
Satu hal, aku juga belajar untuk hidup sebagai minoritas diantara kaum adam. Rapat kerja hanya perempuan seorang, ke lapangan hanya perempuan seorang. Satu divisi hanya perempuan seorang. Belajar berpikir dengan logika praktis.
:)
Thanks a bunch.
I am nothing
without all of you.
*)pada saat tulisan ini ditulis, isu pembukaan kantor
cabang tengah menerpa. kemungkinan akan terjadi mutasi. meski konon kantor cabang hanya akan berjarak sekitar lima ratus meter. :(