Saya memutuskan berhenti sejenak dari bacaan bulan ini,
Relativitas yang ditulis oleh arsitek Adi Punomo, saat mencapai lembar ke 199.
Sampai batas itu tiba-tiba saja saya terhenyak dan amat ingin menulis.
Bab terakhir yang saya baca baru saja berjudul: Melihat
Kembali Potensi Kota, senyawa bangunan dan lansekap sebagai peluang sumbangan
ruang hijau kota. Dalam tulisan itu Pak Mamo menjelaskan bahwa kota-kota besar
di dunia saat ini tengah melakukan pencarian terhadap keseimbangan ekosistem,
melalui pengembangan area-area hijau. Tetapi tidak melulu masyarakat harus
menunggu kebijakan kota, mengapa tidak dimulai saja pada lahan-lahan tunggal?
Memulai menerapkan area hijau pada lahan tunggal atau
yang kemudian disebut Pak Mamo sebagai gagasan sel tunggal tidaklah mudah pada
praktiknya. Saya baru saja dan sedang mengalaminya. Lahan-lahan yang semula hijau
dimaksmalkan building coverage-nya.
Saya sepaham dengan pernyataan Pak Mamo di tulisan beliau sebelumnya. Bahwa
masyarakat kita seringkali terjebak pada kotak berjudul ‘trend’ dan ‘gengsi’.
Sebenarnya ruang A dan ruang B tidak terlalu dibutuhkan namun tetap dibangun
demi mendapatkan wujud massa yang luas dan megah. Bangunan-bangunan dibangun
dan dikomersialkan atas nama investasi. Sampailah pada titik dilematis sebagai
arsitek.
bayangkan, setiap rumah menyumbangkan atapnya untuk ruang hijau.
rasanya kita tidak perlu khawatir lagi kurangnya paru-paru kota,
atau tempat bermain anak-anak kita.
bayangkan, setiap lahan menyumbang penampung air hujan.
rasanya kita tidak perlu khawatir lagi akan buruknya drainase kota,
atau membuang air bersih hanya untuk cuci mobil dan
menyiram tanaman.
bayangkan setiap lahan atau bangunan atau lingkungan mampu mengelola
sampahnya sendiri.
rasanya kita tidak akan melahirkan tempat seperti “Bantargebang” lagi.
bayangkan, setiap bangunan tinggi memanfaatkan ketinggiannya dengan
kincir pembangkit listrik.
rasanya kita tidak terlalu khawatir dengan krisis listrik yang katanya
akan datang.
(Relativitas, 197-198. Adi Purnomo)
Refleksi-refleksi seperti ini entah hingga kapan akan
berakhir, begitu juga dengan diskusi-diskusi yang tetap hangat setiap saya
bertemu kawan seprofesi. Toh pembangunan akan senantiasa berjalan, berlanjut,
juga berkembang. Edukasi masyarakat dengan menepiskan kepentingan materi bagi
pelaku industri properti, sepertinya di sana kuncinya. Apalagi dengan bidang
yang tengah saya geluti saat ini, proses itu terpampang nyata di depan mata.
Bagaimana luasnya tanah bervegetasi hijau pelan-pelan menjadi gundul
cokelat, dan akhirnya berwarna abu-abu. “Divisi
Perusak Lingkungan” begitulah akhirnya nama divisi kami menjadi bahan candaan
dengan kawan sedivisi.
Gagasan sel tunggal. Koefisien Dasar Bangunan seminimal
mungkin. Penggunaan material seminimal mungkin dan seramah mungkin terhadap
lingkungan. Gagasan yang di titik ini menginspirasi saya saat kelak mampu
membangun rumah untuk diri sendiri. Saya tidak ingin memiliki properti yang
pernah dikomersialkan. Saya ingin memiliki rumah kecil dengan menggunakan
material fabrikasi seminimal mungkin, dengan hijau pepohonan dan biru pantulan
air. Kicau burung berselang dengan gemericik air. Lalu tiba-tiba ingat mimpi
semester awal kuliah: rumah di atas kolam ikan. Aih..
..to build a home,
not a house..
aku dulu malah sempet kepikiran pengen punya rumah di deket air terjun, hehe, padahal kalo pas musim hujan bahaya juga punya rumah di deket air terjun :D
BalasHapushihihihi, divisi perusak lingkungan? bisa aja ada istilah itu :)
ala Up! gitu ya, ndah. :D kalau bisa diantisipasi nggak bahaya kok ndah. direncanakan dengan matang untuk mengatasi segala kemungkinan, yang terburuk sekalipun.
Hapus;D