Popo Danes |
“The challenge for an architect in Bali is how to be good representative of the island by promoting the culture, preserving the environment, and also providing some benefit to the local community.”
--Popo Danes on hellobali Magazine May 2015/Vol 20 No 05
Saat membaca kalimat tersebut, sontak saya
teringat bahwa Popo Danes, starchitect Indonesia yang tinggal dan berprofesi di
Bali tersebut kini bukanlah sosok yang asing. Tidak saja karena saya juga
berada di Bali, tetapi saya juga telah beberapa kali berkunjung ke studionya.
Dan berkesempatan menginap di kediaman pribadinya yang berplakat “Republic of
Tunisia, Honorary Consul”.
Saya mengakui bahwa Popo Danes adalah
arsitek yang lihai berkarya. Saat masuk ke rumah pribadinya, saya hanya
terpukau. Bagaimana beliau berpikir hal-hal di luar batas kemajemukan, menemukan
trik dan ide yang orang lain mungkin tidak memikirkannya. Juga seperti
pernyataannya pada majalah hellobali
yang saya kutip di atas, Popo tidak saja ngarsitek , Popo juga seniman. Beliau
mengenalkan kekayaan seni budaya nusantara. Di rumahnya terpajang banyak
lukisan dan koleksi benda-benda antik. Menemukan mainan jaman kanak-kanak
hingga mengagumi peluit kapal layar.
Halaman belakangnya cukup luas dengan
hamparan rumput, pepohonan yang tumbuh dengan asri, serta kolam renang.
Sementara itu di seberang rumahnya terhampar sawah nan luas. Konon saat
matahari tenggelam dan langit cukup cerah, lanskap di sudut mata angin itu
sangat bagus. Sayang, saya tidak menjumpainya langsung, hanya melihatnya
sejenak dari telepon genggam Popo Danes.
Kolom kayu besar itulah yang mula-mula membuat saya ter-'wow'. |
Teknik, material,
dan keselarasan dengan lingkungan. Itulah unsur-unsur yang tertangkap dari
jejak berarsitektur Popo Danes, setidaknya dari studio dan rumahnya. Saya
beruntung mengetahuinya!
Kiri ke kanan: Pak Popo Danes, Ibu Melati Danes, Hafshah, Gek Jyo, Ibu Ayu Gayatri Kresna, Taksu, Pak Gede Kresna, saya, dan Eka. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar