Selasa, 25 Juni 2013

Convention Hall - Jakarta


Kartu pos ini tiba secepat yang tidak saya kira setelah saya mengiyakan beberapa request alamat di laman Card to Post. Kartu pos Indonesia yang pertama saya terima sepulang dari Jakarta. Potret Convention Hall (Balai Sidang) terpampang di muka kartu, semacam salam dari kota yang baru saja saya tinggalkan. Seperti isyarat bahwa Jakarta masih mengingat saya dan tak ingin saya lupakan. Dan benar saja, saat menerima kartu itu, kenangan hidup di Jakarta begitu menggelegak. Keriuhan suasana metropolitan yang tiada duanya. :D

Pengirimnya adalah Andika, penggemar kartu pos yang tinggal di Bandung. Salam kenal!



tulisannya rapi

Senin, 10 Juni 2013

Masih Seperti Anak Kecil



Hanya jarum jam yang berdetak.
Ketika diam menjadi pertanda
bahwa ada
bisikan yang selalu ingin berteriak,
"Berhentilah bersikap seperti anak kecil
yang manja."

Meski kemudian kau pun selalu
akan membalikkan perkara itu.
Dan mengatakan aku seperti anak
kecil, yang masih menggemari:
sekotak cokelat dan semangkuk
es krim.
Juga lollypop dan boneka beruang
berbaju merah?

Kurasa ada yang tersenyum di sana.
Entah siapa.


F.

Handmade Postcard: Watercolour Art Painting

Handmade postcard.
Di hari pertama aku tiba di kota ini, kutemukan sepucuk kartu pos di atas buffet. Kartu yang jauh-jauh hari kupinta untuk dikirimkan ke alamat rumah. Kartu yang telah dikabarkan sampai beberapa pekan yang lalu.

Impresi pertama saat menyentuh kartu pos itu, pengirimnya selalu memiliki kejutan tersendiri. Mulai dari kartu pos yang dibuat dari material recycle, art painting, hingga kain yang dijahitnya sendiri. Kamu begitu kreatif. Kali ini kamu mengirimkan kembali lukisan yang kamu buat sendiri. Kamu berkata bahwa lukisan itu kamu buat tanpa menggoreskan pensil terlebih dahulu. Belajar secara langsung menarik-narik garis dengan pena kemudian menyapunya dengan kuas-kuas berwarna.

Dear Fanni, thanks! :)

Jumat, 07 Juni 2013

Kartu Pos dari Bulgaria

Sofia by Night
Kartu pos yang kuterima dari Sofia, Bulgaria ini adalah yang ke-94 dalam hitungan numeral kumpulan kartu pos di tanganku yang telah melalui perjalanan snail mail-nya. Kisah di balik cerita ini sesungguhnya unik dan sangat memberi kejutan. Pengirimnya Pembayun Sekar, kakak tingkatku beda jurusan semasa kuliah dulu. Kuingat betul, dulu kami tak terlampau dekat karena jarang bertemu dan berinteraksi. Dan kartu pos adalah media "kuno" yang kemudian mempertemukan sapaan-sapaan kami.

Mulanya kami memang sudah saling berkirim kartu pos, semenjak ia merantau ke Swedia. Tetapi suatu saat Mbak Sekar berinisiatif mengadakan lottery sebagai perayaan dua tahun baginya menekuni Postcrossing. Dengan mengisi form sederhana aku pun iseng berpartisipasi. Mbak Sekar akan mengirimkan kartu pos dari dua kota, Stockholm dan Sofia kepada dua orang yang beruntung. Tiap orang yang berpartisipasi diharuskan memilih ingin dikirimkan kartu pos dari Stockholm atau Sofia. Aku memilih Sofia. Alasannya sederhana, karena aku sudah mendapatkan beberapa kartu pos dari Stockholm.

Waktu berlalu dan aku sudah melupakan lottery itu ketika tiba-tiba Mbak Sekar mengabarkan bahwa akhirnya saya secara tak terduga mendapatkan kartu pos dari Sofia. :)

Stamp from Sofia, Bulgaria
Di balik sepucuk kartu posnya kali ini, ia menulis:
"Sepucuk kartu pos ini kukirim dari sebuah ibukota di Eropa Timur yang memiliki sejarah peradaban nan panjang, mulai era Romawi, Byzantine, hingga Ottoman. Bermacam pengaruh kebudayaan tampak jelas dari struktur dan arsitektur kotanya. Sofia adalah satu-satunya negara di Eropa dimana kita dapat melihat empat tempat religius dari agama-agama yang dominan di dunia bersanding harmonis dalam satu kawasan, yaitu masjid, sinagog, gereja Katholik, dan gereja Kristen Ortodoks."
Kali ini aku belajar sekilas tentang arsitektur Sofia melalui selembar kartu itu. :)

Rabu, 05 Juni 2013

Do You Dare to Live in Jakarta?



Satu tahun yang lalu engkau bilang:
gedung-gedung maha tinggi itu menyapamu
Lalu tukasku:
Tidak kurasa, ia membisu,
dan yang Mahatinggi hanyalah Engkau.
–Jakarta, 2 Juni 2013

Akhirnya saya menanggalkan Jakarta dari habitat semula. Mengganti pelbagai riwayat tempat tinggal, memperbaruinya dengan kota yang baru.

Namun, mencoret Jakarta tidaklah semudah membubuhkan dua garis hitam di atas jajaran tujuh huruf itu. Sebagai kota yang telah menggoreskan begitu banyak kenangan –meski hanya sejenak, ia mengajarkan saya banyak hal. Ia memperkenalkan saya pada dunia yang baru. Ia membukakan jendela dunia itu, mempersilakan, memberikan ruang nan lapang untuk sebuah saujana.

Saya rasa semua itu tidaklah sebanding dengan tetes peluh saat turut berjejalan di dalam moda transportasi seperti Commuter Line atau Trans Jakarta. Tidak pula dengan kekhawatiran atas hal-hal negatif yang mungkin saja terjadi dalam setiap perjalanan di kota tersebut, entah angkutan kota atau sekedar berjalan santai di trotoar seputar Bundaran Hotel Indonesia. Jakarta mengajarkan saya untuk waspada ketika Ia memutar adegan seorang mancanegara kehilangan dompetnya. Miris. Begitukah cerminan ibukota, yang selayaknya menjadi ruang penyambutan bagi tamu dari luar negeri?

Jakarta menahbiskan pula makna kesabaran. Ruas-ruas jalan yang senantiasa penuh dengan kendaraan. Tak jarang meluap ke tepian, hingga para pejalan kaki (seperti saya) kehilangan kenyamanannya. Belum lagi, bila jarak mengharuskan untuk menikmati jasa transportasi publik. Stagnan, tidak bergerak sama sekali selama beberapa menit yang kemudian berulang kembali beberapa kali (pula), adalah suatu kelaziman. Mahfum, apabila teriakan, gerutuan kesal, lengkingan klakson lalu meramaikan suasana yang sudah ramai. Maklum, jika hari telah senja, para sopir angkutan umum seringkali kehilangan kesabarannya. Apakah target setoran hari itu belum mencapai target?

Jakarta membawaku melihat kolong-kolong jalan layang, tepian rel, juga bantaran sungai. Ah, tidak usah sejauh itu. Cukuplah dalam setengah jam perjalanan di Metromini menuju Blok M dengan hiburan yang tak henti-hentinya silih berganti. Para pengamen atau pedagangan asongan, laki-laki maupun wanita, beragam usia, dengan sejuta ‘kreativitas’ yang mereka tawarkan. Ucap saya di dalam hati: ada-ada saja cara mereka mengais rezeki untuk menyambung kehidupan. Inikah wajah Jakarta? Mengapa harus Jakarta?

Jakarta adalah ruang prestisius. Bangunan-bangunan tinggi menjulang megah. Central business district terus-menerus dikembangkan. Mal dan apartemen bermunculan seperti jamur di musim penghujan. Kompetisi pelik pada setiap lini massa dan masa.  

Dan Jakarta adalah kota yang secara tidak sadar telah melakukan pembodohan publik. Jakarta adalah kota metropolitan yang seakan tidak ingin dijuluki Jawa.
“Aku  ingin ke Jawa?” ucap seorang kawan.
“Memangnya sekarang kamu tidak sedang di Jawa?”
Jakarta memang bukan di Jawa ya, dan Jawa tidak memangku Jakarta. Sering ingin menghela napas panjang kalau sudah begini. Demi prestige?

Mencoba hidup di Jakarta, rasanya bukan sesuatu yang salah. Saya lalu teringat celetukan paman beberapa waktu yang lalu. Beliau berkata bahwa kelak saat saya meninggalkan Jakarta dan kembali ke rumah, saya akan mengerti bersyukur. Dan itu benar. Apabila banyak orang berargumen bahwa Jakarta adalah kota yang keras, kota yang tidak ramah, hal itu pun benar. Jakarta serupa ruang sempit yang tidak muat untuk menyelonjorkan kaki. Jakarta bagaikan rumah yang sesak untuk bernapas.

Tetapi,
"Aku tak diperbolehkan ke Jakarta," seru serempak kawan-kawan.
Lalu aku hanya tersenyum.
Jakarta telah menyimpulkan lengkung cekung di sini.
:)