Rabu, 26 Februari 2014

Short Letter on Origami Day


We have made paper-bird in work desk, front desk, family room, pantry, till mushola.Yeah, everywhere. We got crazy of origami

February 26th, 2014.

On this couple days, we made a lot of happiness. Suddenly we have so many paper-birds in each of our desk. One of you bought a pack of origami paper and I prefer to recycling unused paper. We taught each other how to made it when there was a trouble in our office electricity maintenance. It is a gift because my manager not only taught me how to made a good drawing plan, an effective structure and design, or well addendum counting. He also taught me how to made origami, such as bird, frog, or motor boat. It seem just like we repeated our kindergarten moment. To be a child is to be happy every time ticked.

I cannot believe that today was exactly my six monthlyversary with all of you. All of my another parents, brothers, and sisters.

I still remember how was my first day among all of you; how was my manager introduced me and all of you; how was I got my first duty; how was we discussed and criticize what we have did; how was we went to field project; how was we tapped an unfinished stair; how was we walked along the residence street and entered house one by one; how was we celebrate our special moment; and the last one is how was all of you have had a piece of brave to bullied me! Sometime it kicked me out of my self. But the most is, it made me happy as all of you raise my face blooming and tick that you got me as your family.

Yesterday evening I trapped in office for a reason: heavy rain. Me and some of my brothers sat down in family room, looking rainfall beyond our office. We told each other, we ate together. And one of you asked me how was my days through six months in this lovely place.

It is unbelievable that I still stand up here.

Yes, you know it because we were not counted on price but we keep the family value. You will not find an office with this humble family. As we laugh together in every kiddings and prank we made. As we threw a bag of flour, a pail of water, and an egg to his/her body on birthday of our friend. As we walk to the basement when feel tired or bored and we play table-tennis. As we bought some snacks and compete to eat it. As we received a lot of cover letter and documents, then we open, watch, and read it together. As we pray together, as we made a wish together.

As we hold another hands.

Thanks for have born me to this amazing world, Allah. I thank to you for have believed in me as one of your khalifah in this earth. I promise, I will always walk and see Your Miracle. I love You, Allah...

|i am counting down to Thursday (27/02) morning, my second blazering day.|

Selasa, 25 Februari 2014

Meet Up Card to Post Jogja ft. Aga

Minggu (23/02) menjadi hari yang paling saya nantikan sepulang kantor di hari sebelumnya. Betapa tidak, meski inisiatif mulanya hanya sebuah keisengan, rencana dadakan itu akan menjadi nyata. Ya, pada akhir Oktober tahun lalu Fanni, sahabat Card to Post dari Bandung, mempertemukan saya dengan Juno dan Aam. Dari detik pertemuan itu kami mulai saling mengenal dan bercakap melalui lini maya. Selayaknya saya menyampaikan terima kasih banyak untuk Fanni.

Setelah kurang lebih tiga bulan tidak bertemu, kami akan saling bersapa lagi. Awalnya dari kicauan Dellana kepada Juno dan Aam yang kemudian berlanjut menggandeng teman-teman lain, Ella, Yani, juga Tane. Kebetulan Aga, sahabat Card to Post Bandung, juga tengah berkunjung ke Jogja. Kunjungan Aga inilah yang kemudian menegaskan niat kami untuk ber-meet up lagi. Bagi Juno dan Aam, ini adalah meet up ketiga mereka. Sementara bagi saya, ini adalah meet up kedua karena saya dengan sangat terpaksa telah melewatkan meet up bersama Pingkan, sahabat Card to Post dari Jakarta, awal Desember lalu.

Satu hal yang saya rindukan adalah merasakan suasana perkenalan dengan teman-teman “sepersukaan”. Vredeburg menjadi meeting point kami kemarin. Berbagai keseruan, kekocakan, dan tingkah polah tak terduga yang memicu tawa hadir di antara kami. Mulai dari mengomentari kartupos yang diterima, hingga berebut kartupos. Ada hal yang mencuat begitu saja saat biasanya bercakap melalui sepotong kertas dan kini bertemu. Betah itu pasti. Perputaran jarum jam selalu tidak terasa. Mendadak sudah siang, atau mendadak sudah senja.

Seperti saat tiba-tiba Aga memberitahukan bahwa ia harus meninggalkan tempat lebih dulu. Menyusul Dellana, Tane, dan Yani yang juga memutuskan pulang bersamaan dengan Aga. Saat itu kami baru sadar bahwa hari sudah beranjak siang. Sementara saya, Ella, Juno, dan Aam entah mengapa masih ingin menuntaskan hari itu bersama. Kami pun berjalan menuju Taman Budaya Yogyakarta setelah selesai berpotret (sekian x 10 frame). Padahal kami juga tidak tahu ada apa di sana.

Pagelaran tari nusantara menyambut kedatangan kami. Ella mengeluarkan koleksi kartuposnya yang kemudian membuat kami mencari tempat nyaman (lagi) untuk lesehan. Ella datang terlambat, jadi belum melihat koleksi kartupos teman-teman dan memamerkan koleksi kartuposnya. Lepas mengulas kartupos, pembicaraan pun mengarah ke beragam topik lain. Dari lantai hingga perumahan, tari hingga wayang, DKV hingga arsitektur, hingga pengalaman pribadi.

Hari itu begitu indah.

Catatan lengkap hari itu nanti dapat disimak di portal online komunitas Card to Post. Kami sudah menuliskannya, semoga saja admin dapat segera mengunggahnya.

Terima kasih teman-teman, baik yang baru kukenal kemarin, Ella, Dellana, Tane, Yani, dan Aga; maupun yang telah berbulan lalu, Juno dan Aam. Terima kasih sudah meluangkan waktu, menyempatkan hadir, dan menemui keluarga baru kalian. All of you really make my day so cheerful! Semoga kartupos terima kasihku lekas sampai ke tangan kalian dan menjadi kejutan kecil untuk kalian.

(karena menemui teman-teman Card to Post seperti meraup “kejutan” yang tak terduga)


Thanks buddies!
Foto: Kamera Aga.

A vs Z | Indonesia dan Teman Bule

Melalui kisi-kisi itu, saya melihat luasnya dunia.

Menyambung catatan saya sebelumnya, saya sempat menyatakan akan menuliskan perbincangan dengan Dhilla mengenai Indonesia dan negara-negara modern di luar sana.

Dhilla mengawali perbincangan dengan menceritakan teman bulenya.
Dhilla  : Kemarin pertama kali yang kutanyakan kepadanya apakah yang pertama kali terpikirkan saat kamu tiba di Indonesia? Dia bilang orang Indonesia itu sangat konsumtif. Dia bilang di negara kami, kami tidak pernah memikirkan barang itu produk trend kapan, terbuat dari apa, apa merknya. Apa yang ada, itulah yang kami pakai.
Saya   :  Benar, Indonesia itu negara yang paling konsumtif dalam hal gadget. Aku pernah mendengarnya meskipun lupa di mana dan siapa yang mengatakannya.
Dhilla  : Iya, teman buleku kemarin juga bilang sama aku, “Semua orang Indonesia itu punya smartphone. For us, phone is just for calling and texting. Email dan sebagainya bisa dilakukan di kampus.” Lalu dia juga tanya sama aku, “Why are you always looking on your phone?” Kuceritakan padanya kalau aku punya grup WhatsApp teman-teman S2 dan kita sedang membahas tugas yang diberikan dosen. Pas dia kukasih lihat grup WhatsApp itu, dia komentar, “Why are all of you crying?” Kukatakan padanya kalau kita sedang sedih dapat tugas yang sulit dari dosen. Eh dia malah bilang, kenapa kalian nggak ketemu saja. Kalian bahas bareng-bareng tugasnya, kalian kerjakan bareng-bareng. Permasalahannya dipecahkan bersama. Bukankah justru lebih cepat selesai?”
Saya   : Memangnya kondisi kampus sudah mendukung? Kampus buka sampai pukul berapa kalau malam?
Dhilla  : Kalau kondisi kampus sebenarnya sudah mendukung. Perpustakaan pusat buka sampai pukul delapan malam. Ya kembali lagi, karakter orang Indonesia itu yang tidak mendukung. Padahal sebenarnya kalau mengerjakan tugas di rumah atau kost, banyak godaannya. Mau ini itu dululah hingga akhirnya melihat kasur yang melambai.
Saya   :  Lha kalau mereka –orang asing- di sana sampai jam berapa di kampus?
Dhilla  : Orang asing itu tidak memiliki waktu luang seluang kita. Mereka di kampus biasanya sampai pukul delapan atau sembilan. Ya, mereka mengerjakan tugas dan belajar di kampus. Oh ya, teman buleku juga sempat bilang, “Kenapa sih orang Indonesia itu rajin posting di sosial media. Apakah mereka tidak membutuhkan privasi? Ya, mereka terlihat bangga dengan apa yang mereka posting dan menurut mereka itu pantas untuk dipamerkan ke orang lain.” Orang asing itu kalau ingin memperlihatkan foto atau apapun yang ingin dipamerkan ke teman-temannya, mereka cenderung gemar mengirimkannya secara pribadi melalui email.
Saya   :  Oh, pantas teman-teman kartuposku yang berasal dari luar negeri  jarang memiliki akun sosial media. Kalaupun ada, mereka juga jarang membukanya. Mereka juga jarang posting hal-hal yang tidak penting. Bahkan temanku dari Jerman menolak saat aku merekues untuk berkiriman email, untuk saling bertukar cerita mengenai negara masing-masing. Dia bilang, “I am prefer in snail-mail than e-mail.”
Dhilla  :  Memang ada sih orang yang seperti itu tetapi tidak semuanya. Bagi mereka, menerima surat atau kartupos adalah hal yang personal dalam hubungan antar sesama. Pasti ada sesuatu yang berbeda begitu menerima dan memegang surat atau kartupos itu.
Saya   : Benar, saat menerimanya akan muncul perasaan bahwa komunikasi itu nyata. Ada bukti yang bisa dipegang tanpa mempergunakan perangkat lain. Berbeda dengan email yang butuh alat seperti smartphone atau PC.

Percakapan berjeda sejenak.

Dhilla  : Gimana kemarin, jadi periksa ke dokter spesialis paru?
Saya   :  Nggak jadi, sudah mulai sembuh kok saat itu. Jadi ya kukontrol dengan air putih dan makanan saja.
Dhilla  : Iya, lagi pula yang penting kalau lagi nggak fit ya dengan mengkatrol pasokan air putih dan makanan.
Saya   :  Sebenarnya pas tes dahak itu aku sudah nanya ke dokternya, perlu rontgen dulu apa nggak. dia bilang nggak dulu nggak apa-apa. Eh, akhirnya dapat antibiotik lagi. Nggak kuminum deh. Padahal ya, kalau di luar sana dokter nggak akan kasih obat kalau belum benar-benar dinyatakan sakit. Kalau di sini sedikit-sedikit dikasih antibiotik, kata temanku yang kuliah farmasi sih.
Dhilla  :  Kalau di luar sana, kayak saudaraku kemarin, dia panas terus dibawa ke dokter. Dokternya ya cuma sebagai konsultan gitu. Katanya nggak apa-apa, ya sudah dibawa pulang lagi tanpa dikasih obat.
Saya   :  Wah keren ya.
Dhilla  : Iya karena tubuh masih bisa memproteksi dengan antibodi, kalau antibodi udah lemah, baru deh dikasih obat. Kalau sedikit-sedikit dikasih obat, antibodinya akan lemah karena nggak dilatih.
Saya   :  Dan jadi ketergantungan obat kan ya?
                Terus ya di sana itu rekam mediknya canggih ya, antar satu klinik atau rumah sakit saling tahu catatan kesehatan seseorang. Semuanya sudah serba online. Kalau pindah rumah sakit nggak perlu khawatir karena dokternya udah bisa tahu catatan dokter lain.
Dhilla  : Tiap dokter bertanggungjawab pada lima keluarga, jadi tiap keluarga sudah punya catatan sendiri-sendiri di dokter pribadi. Negara udah menjamin itu.
Saya   : Indonesia? Oh ya, tentang ultrasonografi pada bayi juga berbatas. Aku pernah baca blog Mbak Sekar, dia cerita kalau selama sembilan bulan itu sudah ditentukan kapan jadwal USG. Cuma sekali saja kecuali ada kasus yang tidak normal. Karena pas proses itu, bayinya akan merasa nggak nyaman malah tersiksa kayaknya. Kasihan.. Coba di Indonesia, tiap bulan USG.
Dhilla  : Iya kok, soalnya pas USG itu kan ada sinar yang masuk trus mantul-mantul apa gimana gitu sehingga muncul gambar itu. Mungkin bayinya silau kali ya.
Saya   :  Bisa jadi. Terus tentang susu bagi ibu hamil...
Dhilla  : Di sana nggak ada, cuma Indonesia aja yang begitu.

Percakapan itu masih berlanjut dan bagi saya bertemu Dhilla di And/Or Bookstore sembari mencicipi hidangan khas Roti Papi begitu berharga. Memiliki kenalan orang asing atau setidaknya teman yang tinggal di negara asing seakan membukakan cakrawala. Untuk belajar berpikir tidak seperti kebanyakan orang Indonesia (yang negatif). Bukan berarti Indonesia adalah negara dengan minus positif, melainkan tidak ada yang salah bukan ketika mempelajari hal berharga dan bernilai baik dari budaya lain.

Jumat, 21 Februari 2014

Roti Papi dan And/Or Bookstore

Cheaper Cheaper.

“Di mana latar foto itu?”

Pertanyaan tersebut akhirnya mengantarkan saya bertemu Dhilla di Roti Papi yang di dalamnya juga terdapat And/Or Bookstore. Awal mula ketertarikan saya dengan Roti Papi dan And/Or Bookstore adalah saat melihat potret Dhilla bersama teman bulenya dari Jerman. Dalam gambar terlihat mereka berpose dengan latar belakang deretan buku dan dinding berpola kurva yang terlihat seperti dinding bekas kamar yang dibobol tanpa dirapikan –sehingga terlihat sedikit susunan batu batanya. Menarik. Dan estetis.

Ketika sampai di pelataran bangunan mungil itu, saya sudah terpukau dengan elemen secondary skin-nya berupa tatanan kayu yang bertempelkan tulisan “Cheaper Cheaper”. Beberapa pemuda paruh baya tampak asyik mengobrol di bangku tepat dekat pintu masuk. Pemandangan yang menarik saya untuk segera turut serta ke dalamnya. Pintu gesernya tertutup, sepertinya bertujuan agar polusi udara dari luar tidak masuk ke dalam ruangan. Di meja lain terlihat beberapa orang asing saling mengobrol. Bahasa “alien” mendengung.

Sebenarnya tidak perlu heran menjumpai orang-orang yang berasal dari luar nusantara di Roti Papi dan And/Or Bookstore. Kafe itu memang menjadi tempat nongkrong foreigners yang sedang bertandang keYogyakarta. Apalagi And/Or Bookstore di lantai atas begitu cozy dan menyajikan beragam buku second hand berbahasa Inggris (yang kebanyakan novel). Buku-buku tersebut tidak sekedar bisa dibaca di tempat tetapi pengunjung dapat membelinya dan melanjutkan membaca di rumah.
 
Setelah ditinggalkan pemilik sementaranya,

Cozy sekali.

Di tangga menuju lantai atas saya kembali bertemu dengan pintu geser kaca berbingkai kayu. Saya pikir kali ini berfungsi untuk membatasi smoking area di lantai bawah dengan no smoking area di lantai atasnya. Begitu menginjakkan kaki di lantai dua, saya takjub. Rak buku berbentuk kotak bertumpuk-tumpuk hampir menyentuh langit-langit. Sementara di sebelahnya berdiri rak yang terbuat dari susunan besi membentuk tiga huruf: N; O; R. Nama tengah saya? Berada di antara kedua rak, membujur rak dengan bentuk seperti papan yang disilang-silangkan. Lalu berdekatan dengan itu semua, terhampar karpet dengan bantal serta sofa yang sangat menggoda. Inilah surga bagi para penggemar dan kolektor buku.
 
Ingin sekali memilikinya.

Saya dan Dhilla memilih bangku di bawah rak gantung mungil yang terbuat dari pipa besi bekas. Di belakang saya duduk dua orang asing yang tengah bercakap dengan laki-laki yang bersantai di karpet. Di sofa, duduk bermalasan tiga remaja yang membaca buku sambil sesekali mengobrol dengan kawan di sebelahnya. Betapa menginspirasi sekali tempat ini bagi saya. Saya menginginkan ini semua. Perpaduan rak dan buku, sofa dan karpet, serta bantal nan empuk. Tidak hanya itu, penggunaan material daur ulang dalam banyak elemen dekorasi interior maupun eksterio benar-benar terasa rustic. Saya jatuh cinta. Merasa seperti di Finlandia atau Norwegia.
 
Papan pesan.

Seorang pelayan menyodorkan papan pesanan. Ya, papan. Tidak seperti kebanyakan kedai yang menyediakan kertas untuk menulis pesanan, Roti Papi justru menyediakan papan bening dari plastik yang dapat dipakai berulang kali. Kami cukup menuliskan pesanan dengan board marker, pelayan menyajikan, lantas setelah kami pulang catatan pesanan kami dihapus dan diserahkan kepada pengunjung lain. Begitu seterusnya. Hemat kertas bukan?
 
Naughty Amelia Jane!

Saya memilih Chicken Kapsalon, sedangkan Dhilla ingin mencicipi Patatje. Dan untuk minum kami sama-sama memesan Hot Orange. Sementara pelayan menyiapkan pesanan kami, saya dan Dhilla mulai menjajari rak demi rak. Saya menemukan buku karangan Enid Blyton, pengarang favorit semasa saya beranjak remaja, yang berjudul “Naughty Amelia Jane!” Tetapi kemudian buku yang telah kami pilih itu hanya mampir di tangan yang sejenak membolak-balik lembar demi lembar tanpa gambar. Kami lebih tertarik berbincang mengenai Indonesia, Jerman, Eropa, orang asing, dan teman-teman bule kami. Perbincangan ini nanti akan coba saya tulis di posting berikutnya.
 
Chicken Kapsalon.

Tepat pada waktu yang kami inginkan, sajian pesanan tiba. Lidah pun berdecak. Sayuran berbaur mayonaise tersebar di atas french fries. Daging ayam cincang yang telah diolah sedemikian rupa bertaburan di permukaannya bersama keju parut. Itulah Kapsalon, pesanan saya. Patatje, pesanan Dhilla, berwujud sepiring kentang goreng yang dapat dicocol saus tomat dan mayonaise. Yummy! Saatnya menyantap.

Dua jam berada di Roti Papi dan And/Or Bookstore bersama Dhilla menjadi waktu yang berharga. Tidak sekedar hanging out  atau mengobrol tanpa konten, saya dapat memandang jauh ke luar bersamanya. Melebarkan jendela mata untuk melihat luasnya dunia.
Kita memandang dunia dari sini.

Hingga tiba di meja kasir, mengangsurkan lembaran uang. Dan tidak mendapat struk pembayaran. Sungguh penghematan luar biasa untuk hal kecil yang seringkali memang tidak diperlukan. Ya, kita jarang sekali (mungkin hampir tidak pernah) menyimpan rapi struk pembayaran bukan?

Rabu, 19 Februari 2014

Waktu dan Kepercayaan

Ia yang melingkari pergelangan tanganku.
Lingkar kedua yang diberikannya seirama dengan yang pertama.

“Hari ini seseorang memberikanku waktu beserta penandanya. Tiga jarumnya bukan sekedar menunjuk angka, melainkan mengawal pencapaianku. Tentang harapan dan batas, juga karya dan pengabdian. Terima kasih.”
Sepenggal tulisan itu tertera sebagai caption atas salah satu posting saya di akun Instagram kemarin lusa. Seorang sehabat bertanya, “Siapakah seseorang itu?”

Saya tersenyum.

Allah selalu tahu apa yang dibutuhkan oleh hambaNya. Hari itu saya meyakininya. Komisaris baru saja kembali dari tanah suci, dan penanda waktu itu adalah buah tangannya kali ini –seperti biasanya setiap beliau kembali dari bepergian, selalu ada sesuatu yang diberikannya. Saya cukup terkejut saat membuka sampul batik yang ujungnya dibentuk kipas, ada detak yang menyertainya. Pasalnya baru beberapa pekan yang lalu saya bercerita kepada seorang sahabat bahwa saya ingin memiliki penanda waktu. Nampaknya kini saya memerlukannya.

Namun ada yang lebih esensi tentang hakikat waktu. Beberapa hari lagi, genap sudah perjalanan enam bulan saya di kantor ini dan saya masih terlampau nyaman berada di sana. Saya telah mempelajari banyak hal di sini, itu pasti. Tetapi berbicara mengenai pencapaian, ada yang teramat penting yaitu: kepercayaan.

Seperti hari itu, sebelum saya menerima penanda waktu.

Tiba-tiba listrik padam. Mungkin petugas listrik sedang memperbaikinya setelah diserbu debu vulkanik tempo hari. Merasa bosan di balik layar, saya pun berpindah ke front desk yang hanya berbatas rak setinggi dada. Para staf marketing tengah membereskan dokumen, sementara saya duduk saja di sana. Tidak lama kemudian, direktur pun keluar ruangan dan bergabung di front desk.

Senyap sejenak.

“Fid,” panggil beliau.

Saya yang tadinya duduk menjajarinya pun memutar kursi dan duduk menghadapnya, “Ya Pak?”

“Kamu bisa kan jadi marketing?”

Saya tidak siap dengan pertanyaan itu, “Musti belajar dulu tapi...” ucap saya sedikit meragu.

“Iya, belajar dulu. Bisa ya?”

Saya sama sekali tidak memiliki bekal teori marketing, meski saya percaya setiap orang dibekali naluri menjadi marketing. Saya masih bimbang apakah saya bisa? Namun ini tentang kepercayaan, hanya itulah yang kemudian menguatkan saya untuk (mungkin) mengemban tanggungjawab tambahan.
“Hanya dengan kepercayaan kamu akan bisa dan merasa bisa. Orang lain percaya denganmu lalu kenapa kamu sulit percaya dengan kemampuan dirimu sendiri? Bukankah setiap orang yang percaya denganmu akan berkata tegas bahwa kamu bisa. Saatnya belajar, saatnya mencoba. Dan saatnya “terlahir” kembali dengan kekayaan ilmu.”
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.

Selamat pagi, selamat hari Rabu!

Senin, 17 Februari 2014

O' Beef Ragout ala Koki Joni

O' Beef Ragout with Spaghetti

Tahun ini rasanya menjadi tahun dimana beberapa teman-teman seperjuangan di kampus mulai eksodus ke Yogyakarta. Jadilah bila dahulu saya senantiasa pergi dan "bermain" bersama sahabat se-gank, kini berganti kawan sepermainan. Seperti pada Selasa 11/02 lalu, tiba-tiba saja saya dan seorang kawan ingin bertemu setelah sebulan tidak berjumpa. Maka dipilihlah Koki Joni sebagai meeting point.

Koki Joni yang dimaksud disini bukanlah nama orang yang ahli memasak. Melainkan sebuah kedai yang menyajikan hidangan serba pasta. Kali itu saya memilih O' Beef Ragout dengan spaghetti dan segelas Oreo Blended. Sementara pelayan menyiapkan menu yang kami pesan, saya menikmati ruang dan dekorasi yang terpampang di sana. Pada salah satu sisi dinding batako --dua sisi dinding tingginya mencapai atap, sedangkan dua sisi yang lain terbuka, tergantung enam foto monokrom berbingkai. Memang itulah point of interest dari kedai ini, karena saat kami tiba di tempat itu saya langsung memilih bangku yang dekat dengan deretan bingkai tersebut.

Point of interest.

Salah satu bingkai yang tergantung di sudut bawah menyedot perhatian saya. Seorang pelayan yang tersenyum lebar di balik papan bertuliskan "Cashier | follow & mention @KOKIJONI". Sementara saya mengamati dan memotret bingkai itu, teman saya berceletuk, "Tahu nggak, Koki Joni itu sebenarnya si burung kakak tua itu." Sontak perhatian saya pun beralih ke bingkai di atasnya, seekor burung kakak tua dengan bulu semarak yang tengah berpose.

Follow & mention @ KOKIJONI

Meruang di kedai itu membuat waktu tunggu tak terasa cepat berlalu. Pesanan kami pun telah datang. Saatnya makan! Yummy, sampai sesendok terakhir.

Voilaa!

Minggu, 16 Februari 2014

Welcome Dust, Good Bye Bronchitis

Bunga yang berdebu.
But if you want to leave  take good care,
Hope you have a lot of nice things to wear,
But then a lot of nice things turn bad out there.

It is a wild world,
It’s hard to get by just upon a smile.
It is a wild world,
I always remember you like a child, girl.

You know i’ve seen a lot of what the world can do.
(Mr Big, Wild World)

Potongan lirik lagu itu mendengung dari kamar adik saya menjelang keberangkatannya ke Gunung Merbabu pada 12/02 malam. Lagu yang kini menjadi lagu favorit kami berdua setelah dipopulerkan lagi oleh Devirzha –melalui ajang pencarian bakat. Entah mengapa saya merasa akan terjadi sesuatu. Lirik lagu itu mengisyaratkan sebuah perpisahan, memuat pesan layaknya ia berkata pada saya yang masih seperti anak kecil. Semoga saja tidak akan terjadi apa-apa pada pendakian perdananya.

Namun pada 13/02 senja hari di saat saya melakukan fitting blazer untuk seragam kantor, saya merasakan gerah yang luar biasa. Tidak seperti biasanya. Saya pikir itu pengaruh kain blazer yang saya kenakan. Namun semakin larut, kegerahan itu tak jua surut. Saya yang jarang meneteskan keringat, kali itu berpeluh, dibarengi suara-suara dentuman di kejauhan. Ini bukan halusinasi semata bukan? Channel televisi pun segera saya alihkan ke stasiun yang menyajikan berita. Tak dinyana status awas Gunung Kelud satu jam yang lalu, telah berakhir. Kelud telah memuntahkan isi perutnya.

Beberapa jam kemudian, saat subuh tiba kegemparan terjadi. Hujan abu mengguyur. Matahari tak tampak sama sekali. Pagi yang seharusnya telah bercahaya, terlihat redup. Jam-jam sibuk persiapan berangkat ke sekolah dan kantor menjadi waktu yang cukup heboh. Tidak mungkin akan keluar dan beraktivitas layaknya seharusnya. Hujan abu terlampau deras, terlebih bagi saya yang masih dalam tahap penyembuhan pasca terjangkit bronchitis.

Tidak dapat melihat pepohonan di batas petak sawah, langit kelabu.

Dalam sekejap, abu telah menebal. Tidak saja melapisi jalan, halaman, dan beranda. Debu vulkanik mulai menyusup melalui lubang-lubang angin meski telah rapat tertutup tirai. Menyelimuti benda-benda yang mampu dijangkaunya. Mendarat di mana saja tanpa memilih permukaan. Dalam sekejap semuanya menjadi tampak monokrom, tak perlu filter effect lagi untuk menghasilkan kualitas foto yang dramatis.

Sepanjang hari debu mengepul, kota menjadi mati. Denyut nadi kehidupan mendadak lumpuh. Hujan air yang dinanti tak segera turun, untuk meluruhkan debu yang beterbangan dan membilas udara yang “berkabut”. Praktis, penutup hidung harus senantiasa terpasang sekaligus kacamata apabila ingin keluar. Perlindungan serba ekstra.

Alhamdulillah siang hari adik saya kembali dari perjalanannya, meski tidak sampai puncak, ada hal lain yang patut disyukuri. Kami kembali bersama dalam situasi serba hitam putih ini. Dan teramat sangat yang ingin saya syukuri adalah debu vulkanik tidak terlampau mengganggu pernafasan saya seperti yang saya khawatirkan saat hujan abu datang di pagi itu. Good bye, bronchitis! Terima kasih saya haturkan kepada: dr. Toni & dr. Sih  Rahayu di klinik dekat rumah; dr. Iken Agustina saat dirujuk ke Puskesmas Sleman untuk tes dahak; terakhir dr. Rossi Winata & dr. Yuni saat tahap rekam thorax di RS PKU Yogyakarta.

Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?