Selasa, 16 Juni 2015

One Day in Popo Danes's

Popo Danes
The challenge for an architect in Bali is how to be good representative of the island by promoting the culture, preserving the environment, and also providing some benefit to the local community.”
--Popo Danes on hellobali Magazine May 2015/Vol 20 No 05

Saat membaca kalimat tersebut, sontak saya teringat bahwa Popo Danes, starchitect Indonesia yang tinggal dan berprofesi di Bali tersebut kini bukanlah sosok yang asing. Tidak saja karena saya juga berada di Bali, tetapi saya juga telah beberapa kali berkunjung ke studionya. Dan berkesempatan menginap di kediaman pribadinya yang berplakat “Republic of Tunisia, Honorary Consul”.


Saya mengakui bahwa Popo Danes adalah arsitek yang lihai berkarya. Saat masuk ke rumah pribadinya, saya hanya terpukau. Bagaimana beliau berpikir hal-hal di luar batas kemajemukan, menemukan trik dan ide yang orang lain mungkin tidak memikirkannya. Juga seperti pernyataannya pada majalah hellobali yang saya kutip di atas, Popo tidak saja ngarsitek , Popo juga seniman. Beliau mengenalkan kekayaan seni budaya nusantara. Di rumahnya terpajang banyak lukisan dan koleksi benda-benda antik. Menemukan mainan jaman kanak-kanak hingga mengagumi peluit kapal layar.



Halaman belakangnya cukup luas dengan hamparan rumput, pepohonan yang tumbuh dengan asri, serta kolam renang. Sementara itu di seberang rumahnya terhampar sawah nan luas. Konon saat matahari tenggelam dan langit cukup cerah, lanskap di sudut mata angin itu sangat bagus. Sayang, saya tidak menjumpainya langsung, hanya melihatnya sejenak dari telepon genggam Popo Danes.


Kolom kayu besar itulah yang mula-mula membuat saya ter-'wow'.

Teknik, material, dan keselarasan dengan lingkungan. Itulah unsur-unsur yang tertangkap dari jejak berarsitektur Popo Danes, setidaknya dari studio dan rumahnya. Saya beruntung mengetahuinya!





Kiri ke kanan: Pak Popo Danes, Ibu Melati Danes, Hafshah, Gek Jyo, Ibu Ayu Gayatri Kresna, Taksu, Pak Gede Kresna, saya, dan Eka.

Senin, 27 April 2015

Pasar-Pasaran di Garden Ubud


Jumat (24/04) saat saya membuka akun Instagram, saya menemukan info Pasar-Pasaran di Garden Café, Ubud hari Ahad (26/04), melalui @vitarlenology. Segera saya menelusuri kabar tersebut lebih lanjut dan memutuskan untuk datang. Pasar-Pasaran merupakan ajang unjuk gigi para pelaku seni dan penyuka kerajinan tangan usia muda. Skalanya cukup kecil jika dibandingkan dengan Pasar Seni ITB yang sangat padat, hanya sekitar dua puluh-an peserta.

Jarak Rumah Intaran dengan daerah-daerah keramaian turistik seperti Ubud tidaklah dekat. Saya dan Haps harus menempuh perjalanan menembus dingin dan berkabutnya kawasan Kintamani yang tidak singkat. Cuaca saat itu mendung sedari rumah. Perjalanan yang direncanakan melewati Tegallalang berubah karena kami terlambat berbelok. Akhirnya kami mencapai Ubud via jalur Tampaksiring yang ramai dengan truk-truk pasir dari Gunung Batur, Kintamani. Dua setengah jam akhirnya mengantarkan saya dan Haps di depan gerbang Garden Café.


Mengamati booth demi booth membuat saya kagum dengan kreativitas anak-anak muda ini. Hal-hal sederhana bahkan daur ulang dapat disulap menjadi sesuatu yang artsy. Para seniman muda ini juga meminimalkan penggunaan plastik pada kemasan dan dekorasi.
Kebahagiaan adalah saat secara tidak terduga kamu bertemu seseorang yang kamu kenal.
Begitulah pula yang terjadi hari itu. Saya tidak membuat janji dengan siapapun hari itu. Tetapi Tuhan menggariskan saya bertemu Dyan dan Jessica. Saya mengenal mereka berdua sejak kunjungan mereka ke Rumah Intaran sekitar dua bulan lalu. Selanjutnya saya bertemu kembali dengan Dyan dalam Belajar dari Desa. Walaupun sesaat tetapi menyenangkan sekali, dunia itu sempit bukan? Setelah bercakap sejenak, saya, Dyan dan Jessica memutuskan berpisah untuk melanjutkan pengembaraan masing-masing di Pasar-Pasaran.

Dua jam di Ubud, saya dan Haps memutuskan pulang setelah bertemu Eka, pada pukul empat. Kali ini kami melalui jalur Tegallalang-Singaraja. Kabut di Kintamani lebih tebal, dingin masih menusuk dengan dobelan-dobelan jaket dan pashmina. Gerimis kecil pun mulai turun. Jarak pandang benar-benar terbatas. Sinyal ponsel tenggelam selama satu jam –seperti biasa. Menembus gunung dari Bali Utara menuju Bali Selatan memang butuh niat dan mental kuat.


Lebih dari itu, bagi saya mengenal daerah di mana tempat kita merantau adalah suatu bentuk proses adaptasi.