Senin, 27 April 2015

Pasar-Pasaran di Garden Ubud


Jumat (24/04) saat saya membuka akun Instagram, saya menemukan info Pasar-Pasaran di Garden Café, Ubud hari Ahad (26/04), melalui @vitarlenology. Segera saya menelusuri kabar tersebut lebih lanjut dan memutuskan untuk datang. Pasar-Pasaran merupakan ajang unjuk gigi para pelaku seni dan penyuka kerajinan tangan usia muda. Skalanya cukup kecil jika dibandingkan dengan Pasar Seni ITB yang sangat padat, hanya sekitar dua puluh-an peserta.

Jarak Rumah Intaran dengan daerah-daerah keramaian turistik seperti Ubud tidaklah dekat. Saya dan Haps harus menempuh perjalanan menembus dingin dan berkabutnya kawasan Kintamani yang tidak singkat. Cuaca saat itu mendung sedari rumah. Perjalanan yang direncanakan melewati Tegallalang berubah karena kami terlambat berbelok. Akhirnya kami mencapai Ubud via jalur Tampaksiring yang ramai dengan truk-truk pasir dari Gunung Batur, Kintamani. Dua setengah jam akhirnya mengantarkan saya dan Haps di depan gerbang Garden Café.


Mengamati booth demi booth membuat saya kagum dengan kreativitas anak-anak muda ini. Hal-hal sederhana bahkan daur ulang dapat disulap menjadi sesuatu yang artsy. Para seniman muda ini juga meminimalkan penggunaan plastik pada kemasan dan dekorasi.
Kebahagiaan adalah saat secara tidak terduga kamu bertemu seseorang yang kamu kenal.
Begitulah pula yang terjadi hari itu. Saya tidak membuat janji dengan siapapun hari itu. Tetapi Tuhan menggariskan saya bertemu Dyan dan Jessica. Saya mengenal mereka berdua sejak kunjungan mereka ke Rumah Intaran sekitar dua bulan lalu. Selanjutnya saya bertemu kembali dengan Dyan dalam Belajar dari Desa. Walaupun sesaat tetapi menyenangkan sekali, dunia itu sempit bukan? Setelah bercakap sejenak, saya, Dyan dan Jessica memutuskan berpisah untuk melanjutkan pengembaraan masing-masing di Pasar-Pasaran.

Dua jam di Ubud, saya dan Haps memutuskan pulang setelah bertemu Eka, pada pukul empat. Kali ini kami melalui jalur Tegallalang-Singaraja. Kabut di Kintamani lebih tebal, dingin masih menusuk dengan dobelan-dobelan jaket dan pashmina. Gerimis kecil pun mulai turun. Jarak pandang benar-benar terbatas. Sinyal ponsel tenggelam selama satu jam –seperti biasa. Menembus gunung dari Bali Utara menuju Bali Selatan memang butuh niat dan mental kuat.


Lebih dari itu, bagi saya mengenal daerah di mana tempat kita merantau adalah suatu bentuk proses adaptasi.







Selasa, 31 Maret 2015

Nyepi di Bali


Satu pekan telah berlalu semenjak masyarakat Hindu di Bali merayakan Nyepi. Bagi perantau dengan kultur asal sangat berbeda, berada di tengah-tengah masyarakat asing tentu memperkaya pengalaman dan pengetahuan saya. Mengenal dan mengetahui bagaimana kehidupan sosial dan tradisi berjalan menjadi sebuah catatan tersendiri.

Nyepi atau Perayaan Tahun Baru Saka merupakan salah satu hati besar yang diperingati masyarakat Hindu di Bali. Persiapannya pun sudah dimulai sejak jauh-jauh hari, misalnya dengan membuat ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh adalah semacam raksasa yang terbuat dari berbagai material sesuai kreativitas, bambu, stereofoam, kertas, hingga kain. Beberapa ogoh-ogoh juga disertai elemen-elemen seperti api atau air.

Ogoh-ogoh merupakan simbol kekuatan-kekuatan negatif yang tidak baik berada di sekeliling manusia Hindu Bali dan harus dinetralkan. Caranya, ogoh-ogoh akan diarak di banjar-banjar –hingga seperti festival karena semua masyarakat turun ke jalan dan turut menyemarakkannya. Setelah itu akan dibakar sehingga kekuatan itu akan pergi.


Beruntung saya mendapat kesempatan pula untuk menyaksikan arak-arakan ogoh-ogoh di Desa Tamblang, Buleleng. Saat saya sampai di dekat Pasar Tamblang, persiapan masih berlangsung. Anak-anak dengan kebanggaan penuh turut serta mempersiapkan dan berlatih, tak terkecuali beberapa balita yang menggemaskan. Rata-rata para pengarak ogoh-ogoh ini mengenakan pakaian hitam-hitam –yang mungkin pertanda “kegelapan”.

Sejurus kemudian tampak para pecalang yang kian banyak bersiaga. Mengatur jalannya “festival” karena masyarakat memadati jalanan –yang seringkali tidak terkontrol. Menjelang pukul tiga, arak-arakan ogoh-ogoh mulai melintas satu per satu, begitu banyak bentuknya, kalau kata teman saya dulu hal itu menunjukkan betapa orang-orang Bali memiliki kreativitas dan seni yang tinggi.

Saya pun turut berdesakan diantara riuhnya orang-orang yang bersemangat untuk mendapatkan tempat terdepan. Tak ketinggalan beberapa orang yang melihat ogoh-ogoh dari lantai dua rumah atau dari atas pura –yang biasanya letaknya lebih tinggi dari jalan. Dengan kamera di tangan dan suasana yang padat, tak pelak menyulitkan ruang gerak saya pula. Tak jarang saya kemudian terdesak ke belakang, tak jarang pula kena cegat pecalang.


Pukul lima keseluruhan arak-arakan baru selesai melintas, tentu acara belum selesai karena ritual selanjutnya masih panjang. Ogoh-ogoh itu akan kembali diarak menuju lapangan, kemudian akan diadakan pentas seni dan pembakaran ogoh-ogoh sebagai pamungkas tradisi malam sebelum Nyepi.

---

Pagi hari 1 Saka terasa sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Jalanan sunyi, orang-orang tidak boleh keluar ke jalanan. Saya hanya menghabiskan seharian itu dengan beraktivitas di kompleks Rumah Intaran saja. Terdapat pantangan saat merayakan Nyepi bagi umat Hindu antara lain tidak menyalakan api atau cahaya, tidak bepergian, tidak bekerja, dan tidak bersenang-senang atau menghibur diri. Selain itu pada hari Nyepi, sebagian besar umat Hindu akan berpuasa selama 24 jam.

Waktu terasa begitu lama, selain karena aktivitas yang monoton juga suasana yang sepi. Saya yang tidak merayakannya tentu harus mencari pengalihan lain. Saat masuk kamar saya akan memutar film dan menontonnya, lalu menghabiskan dengan membaca buku. Menjelang senja, lampu matahari mulai redup. Hari mulai gelap. Gelap! Tidak ada lampu sama sekali –kecuali mendesak. Ada pengecualian dalam hal penerangan ini, untuk orang yang sudah tua, orang sakit, dan memiliki bayi.


Konon, malam itu bintang begitu jelas terlihat. Gemerlap gemintang. Saat saya membuka laman media sosial, beberapa orang pun telah mempublikasikan potret-potret langit dari berbagai tempat di Bali. Benar saja, karena tidak ada polusi cahaya yang mengaburkan cahaya dari atas. Namun tidak ada nyali bagi saya untuk keluar kamar padahal menatap langit berbintang adalah kegemaran saya semasa kecil. Esok harinya? Jelas kecewa.