Pada sepenggalah
pagi ini saya belum selesai merapal cerita-cerita yang terhimpun dalam buku Indonesia
Mengajar. Namun bulir-bulir kristal sudah mengembun di sudut-sudut kelopak
mata.
Bukan tanpa
sebab, saya merasa terenyuh dengan kondisi keseharian mereka, para penduduk
pulau-pulau terpencil nan terpelosok itu. Transportasi yang minim, sumber mata
air yang memutar bukit, listrik yang belum tersedia, hingga kondisi pendidikan
itu sendiri yang turut terpencil sekaligus terkucilkan. Memang, pernyataan di atas tidak lantas
harus dipukul rata pada semua daerah terpencil itu karena ada daerah-daerah
yang belum ada listrik namun air berlimpah. Transportasi yang minim namun
sumber mata air mudah didapat. Ya, tiap daerah memiliki kelebihan dan
kekurangan –jika perbandingannya adalah ranah-ranah sejenis dan bukan
kota-kota.
“Masyarakat yang dekat dengan pusat kemajuan, katakanlah masyarakat Pulau Jawa, memandang Sulawesi Barat hanya sejauh dua jam perjalanan dengan pesawat. Namun, Pulau Jawa di mata masyarakat Sulawesi Barat adalah suatu tempat di negeri antah berantah. Sungguh jauh. Apalagi bertemu dengan Wakil Presiden, membayangkan saja tidak.” (hlm. 107)
Saya kemudian tersadar bahwa saya tengah berada pada zona
yang sangat nyaman. Transportasi di Pulau Jawa sangat mudah didapatkan –baik secara
bendawi maupun sarana jalan raya yang “lebih” memadai, tetapi mengapa
kadangkala harus mengeluh saat menjumpai begitu banyak polisi tidur,
terperangkap kemacetan, atau sekadar tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Sebagian
mereka di pelosok, bermimpi bersepeda saja mungkin tercekat di bibir benak,
mengingat jalanan yang masih tidak memungkinkan untuk dilalui –yang ketika
hujan, kadangkala menjadi becek, licin, atau bahkan banjir.
Keberadaan sarana yang lain pun begitu. Listrik, betapa
terkadang saya begitu dongkol saat perusahaan listrik tiba-tiba memadamkannya. Sementara
sebagian dari mereka baru bisa menikmati listrik genset saat jarum jam telah
menunjuk angka sembilan malam. Sarana komunikasi, betapa saya dengan mudahnya
dapat berkomunikasi dengan kawan-kawan lintas kota bahkan negara dan benua.
Sementara sebagian dari mereka harus hidup terpisah dengan orang tua yang hanya
bisa dikunjungi dengan kapal motor selama dua jam perjalanan yang hanya
beroperasi dua kali sepekan.
Namun di balik keterbatasan itu banyak kejutan-kejutan yang
menakjubkan. Anak-anak itu seperti mutiara yang tertabiri. Bila mereka
mendapatkan kesempatan yang memadai untuk mengembangkan minat dan bakat, bukan
hal mustahil mereka akan menjadi kebanggaan bangsa. Mereka cerdas, mereka
pintar, tetapi mereka belum tersentuh.
“Mendidik adalah tugas konstitusional negara, tetapi sesungguhnya mendidik adalah tugas moral tiap orang terdidik.” (Anies Baswedan, hlm. xv)
Ini adalah sebuah pilihan.
PS: tiba-tiba tercetus jika transmigrasi digalakkan kembali,
tetapi bukan memindahkan masyarakat tak mampu, justru mentransmigrasikan para
sarjana, para orang-orang sukses, para orang yang bisa menjadi cermin
masyarakat di sekitarnya. orang-orang yang bisa mensugesti masyarakat setempat,
agar harkat hidup dan martabatnya terangkat. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar