tiba-tiba bertemu potret ini kembali: Vastenberg di balik kawat berduri |
Siapa yang belum
mengenal Benteng Vastenberg? Sempat populer beberapa waktu silam saat santer
isu pengalihan fungsi bangunan cagar budaya ini menjadi bangunan komersial.
Jatuhnya kepemilikan tanah Vastenberg dari pemerintah ke tangan individu
rupanya menjadi polemik berkepanjangan. Hingga bangunan itu kini terpuruk,
seolah hanya tengah meratapi nasibnya. Tidak ada eksekusi apapun dari pihak
manapun. Terdiam dalam kungkungan pagar besi seadanya yang telah berkarat,
dikelilingi semak dan sampah. Ironis!
Persil itu memang
telah menjelma menjadi wilayah komersial –area bisnis dan perdagangan di
Surakarta. Terletak di ujung Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama di
kota Surakarta yang juga dikenal dengan Sala/Solo. Berbatasan dengan Kantor
Telkom, berhadapan dengan Pusat Grosir Solo serta Beteng Trade Center yang
kesemuanya bangunan bertingkat. Juga tak jauh melangkah dari Kantor Bank
Indonesia –yang kini sedang dalam tahap pengembangan, serta kemegahan Western
Premier Hotel yang gemerlap menjulang. Benteng itu tenggelam dalam megahnya
euforia kota yang sedang bermetamorfosa.
Tak jauh berbeda
dengan nasib Keraton Kasunanan Surakarta yang berlokasi di belakang PGS dan
BTC. Di tengah berbagai masalah di dalamnya, keraton pun telah mengalami pergeseran
kepentingan. Ia tinggallah nama dengan peran pengemban budaya semata karena
kekuasaan telah berpindah ke tangan pemerintah dengan tampuk kepemimpinan walikota.
Alih-alih menyoal tentang kekuasaan, kompleks nan luas itu kini telah
tenggelam. Tersembunyi di balik bangunan-bangunan maha modern dengan desain
meng-internasional.
Itu pula yang kemudian
didengung-dengungkan para pamong di meja kampus bertahun-tahun. Dan saya setuju dengan pendapat beliau-beliau
yang notabene penganut paham regionalisme-kontekstualisme. Ditilik dari sudut
hukum pranata pembangunan, prinsip arsitektur tradisional jawa, serta peta perkembangan
arsitektur. Bahwa membangun harus memperhatikan kondisi sekitar, mengalahkan
egoisme pribadi atau golongan. Memang sulit mengelak dari perkembangan zaman di
era persaingan global dengan kepentingan-kepentingan bisnis yang kian
menggelora. Namun tidak lantas kemudian kebersahajaan dan kewibawaan bangunan
peninggalan sejarah itu harus diabaikan.
Tentang bangunan cagar
budaya yang konon telah dilindungi undang-undang namun tiada realisasi telah
menjadi bubur. Pernah saya bertanya-tanya mengapa kondisi di Surakarta berbeda
dengan di Yogyakarta? Keraton Yogyakarta masih menjadi sentral kepemimpinan
maupun pelestarian budaya. Benda-benda cagar budaya pun masih anggun terawat
serta menarik minat wisatawan. Apa yang salah? Dan jawaban itu ternyata
terletak pada sejarah. Intrik politik serta hegemoni tiyang walanda di masa lalu.
Pernah pula sepulang
dari studi ekskursi di Pulau Bali saya bertanya-tanya, mengapa
bangunan-bangunan di sana terlihat seragam, kompak, dan tidak nampak bangunan
yang saling berlomba menonjolkan fasad dan massa masing-masing. Singkatnya
mengapa budaya yang berakar dari keyakinan, di sana masih dijunjung dalam
berbagai hal termasuk dalam prinsip-prinsip tata bangunan? Dan jawaban yang
saya peroleh: bertanyalah pada dirimu sendiri, apakah kamu sudah melakukan
upaya menjunjung budaya keJawaanmu sendiri karena toh di sana bukankah kamu
lihat sebenarnya sudah ada upaya modernisasi?
Sejenak kemudian lalu
teringat pepatah Jayabaya: wong jawa
kelangan jawane...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar