ibee.iblogger.org |
Tiba-tiba saya
teringat kebiasaan bersama beberapa kawan se-kos kala masih mengenyam masa
kuliah dulu. Saat rasa bosan atau suntuk melanda pada sore atau malam hari,
kami akan bersepakat untuk mencari menu kuliner santai alias lesehan. Lesehan sendiri
berarti duduk di lantai beralaskan tikar dan semacamnya dengan suasana santai. Namun
kala itu tidak hanya di lantai kami duduk, terkadang duduk di trotoar jalur lambat atau bibir taman
di tepian jalan menjadi alternatif lain. Dan tidak ketinggalan pohon yang
menaungi. Lalu sesekali angin akan berhembus yang seakan turut menerbangkan
kebosanan. Terkadang satu dua helai daun pun akan turut gugur. Hap! Berkah bagi
pengoleksi daun gugur. :D
Satu jam terkadang
terasa begitu singkat. Hanya untuk
sekadar mengobrol ngalor ngidul. Tak
ada niat lain selain hanya ingin terbebas dari rutinitas harian dan mengisi
kantung lambung. Pun dengan pelbagai macam pilihan menu di beberapa titik
kuliner tetap menjejakkan kesan tersendiri hingga kini. Saya masih ingin
tersenyum saat mengingat seorang kawan yang terbiasa memesan makanan dengan
ekor dua kata: “pedhes banget” pada momen bosan seperti itu. Dan seketika penjual akan tersenyum lebar.
Saya jadi rindu
menyusuri Jalan Ir Sutami, Jalan Ki Hajar Dewantara, Jalan Kartika, atau melancong
empat kilometer ke pusat kota. Selain lesehan, tak jarang kami juga akan
meluangkan diri untuk sekadar memburu es krim, satu bar kecil cokelat, atau wedang
ronde plus roti konde! Jangan berpikir bentuk roti ini persis konde (saya dulu
berpikir begitu), karena nyatanya beda. Roti ini mungil seperti pancake dengan olesan
berbagai macam rasa. Saya paling suka cheese-blueberry.
;) Bagi pelanggan kereta api Jogja-Solo rasanya tidak asing dengan penjual roti
yang hilir mudik di stasiun. Nah seperti itulah tampilan roti konde meski
dengan ukuran lebih mungil.
“Tahun depan aku akan
merindukan suasana malam hari di ruas jalan ini seperti saat ini.”
Kurang lebih kalimat seperti
itu pernah saya lontarkan di akun jejaring sosial awal tahun lalu saat me-leseh
di ruas blok Widuran. Dan terbukti suasana malam di Solo belum jua bosan untuk
dihinggapi. Pada penghujung penghabisan waktu di Solo, saya kian bersemangat karena berkesempatan menyambangi beberapa hajat besar di kota itu. Sebut saja, Solo Batik Carnival yang kebetulan saat itu diselenggarakan kala
malam hari. Begitu juga dengan SoloInternational Performing Art di Mangkunegaran serta sesekali berkunjung ke hajat
mingguan Ngarsopuro Night Market.
Atau jejak pesta Sekaten di Alun-Alun Utara Keraton Kasunanan yang saat itu bertepatan
dengan histeria Imlek. Maka sepulang dari alun-alun kami berhenti sejenak di
bawah pendar “pergola” lampion-lampion yang bergelantungan di jalan yang membelah
Pasar Gedhe Harjonagoro. Ah, satu yang terlewatkan: Solo International Ethnic Music.
Ada apa dengan Jogja?
Rasanya hingar bingar kota ini masih belum populer di mata saya. Who wants to be my night-mates? :P
haha...
BalasHapusbaru ja aku niat mau nulis aku kangen Solo :))
ya ampun, kota itu walo cuma 4 tahun tapi kok ngangenin ya..ckck
karena keluarga kita di sana ya kota itu dan segala isinya. orang terdekat kita di sana ya teman-teman. dulu di solo kangen rumah, sekarang di rumah jd kangen solo. karena kita punya dua keluarga. :D
Hapuswaaaaa aku jg kangen masa2 itu..wktu kita selalu bingung makan dimana..finaly, tertuju ke kpri hahaha...
BalasHapusdulu yg malem2 kita nonton itu apa ya rop??
kangennnn solo, kalian kalian semua.. :DD
hehe lalu duduk dulu di selasar belakang gedung, berjalan bentar, berhenti di persimpangan, bingung mau jalan kaki atau naik motor (klo hbis makan musti balik kampus lagi). dulu kita nonton SIPA repiiiii... :) solo dengan segala kenangannya adalah bagian terindah dari perjalanan hidup kita. rasanya masih pengen duduk di lobi deket ruang2 dosen..hehe. melongok2 ke ruang2 dosen..:P
Hapus