Tugu Jogja pada suatu malam. |
Selamat November. Selain menjadi bulan terbaik
untuk menanti hujan, bulan kesebelas ini merupakan bulan dimana saya sangat
merindukan Jogja. Kota tempat beraktivitas sebelumnya, tempat berkumpul dengan
orang tua, dengan teman-teman. Tempat melalui masa bertumbuh dan mendewasa.
Ruang menyapa pagi di bawah kaki Merapi, merentang siang di belantara kota, dan
seringkali larut bercerita bersama tawa kala malam.
Meninggalkan kota berhati nyaman pada awal
Februari lalu memang tidak mudah. Karena itu berarti menanggalkan sementara
habitat beserta segala isinya. Kini, saya merasa telah melewatkan banyak hal –yang
kebanyakan luput dari atensi saya pribadi. Satu per satu teman-teman mengabarkan
acara demi acara seraya memamerkan foto-fotonya. Konser Frau dan Banda Neira. Gedung
Societet Taman Budaya Yogyakarta dengan drama musikalnya. Jogja Biennale saat
ini, lalu segera menyambut pekan pemutaran film. Tidak semata menceritakan event-event tersebut, teman-teman pun
sempat menyisipkan kalimat, “Kamu kapan selesai di sana? Kangen nonton
acara-acara seperti ini dan ada kamunya..”
Angkringan depan KR (sebutan untuk kantor
Kedaulatan Rakyat, surat kabar harian lokal Jogja), angkringan depan Stasiun
Tugu,dan Lesehan Sayidan. Betapa saya
pun merindukan menghirup aroma Jogja di titik-titik tersebut, sambil menyeruput
susu jahe dan menyuap dua bungkus nasi kucing. Sesekali menjumpai para pengamen
yang mendendangkan lagu Yogyakarta. Atau
sesekali menggilir mengunjungi café-café yang mulai menjamur di sana, mencicipi
ragam kuliner asing yang tiba-tiba hadir.
Tempo hari, beberapa kawan kantor terdahulu
mengunggah foto-foto family gathering
mereka di Pangandaran. Setelahnya salah satu dari mereka mengabarkan perjalanan
selanjutnya adalah ke Pacitan, Jawa Timur akhir Desember nanti. “Ikut ya,”
katanya. Saya merindukan mereka, yang telah saya tinggalkan ‘sepihak’ demi
mengejar keinginan merantau ke Bali. Saya tahu benar resiko-resiko tersebut
saat memutuskan berkelana menyeberang ke pulau di timur Jawa ini.
Gajah di pelupuk mata tak tampak, peribahasa ini yang kiranya menggambarkan apa yang sebenarnya saya lihat kini terhadap Jogja. Ia begitu ‘kaya’, lebih dari yang pernah saya kira sebelumnya. Kota kreatif yang sangat hidup dengan beragam komunitas dan acara yang terpublikasi bertubi-tubi. Terlalu banyak tujuan yang ingin saya hampiri kemudian –nanti saat kembali pada waktu yang tepat.
Gajah di pelupuk mata tak tampak, peribahasa ini yang kiranya menggambarkan apa yang sebenarnya saya lihat kini terhadap Jogja. Ia begitu ‘kaya’, lebih dari yang pernah saya kira sebelumnya. Kota kreatif yang sangat hidup dengan beragam komunitas dan acara yang terpublikasi bertubi-tubi. Terlalu banyak tujuan yang ingin saya hampiri kemudian –nanti saat kembali pada waktu yang tepat.
jadi mau balik ke yogya lagi kah? atau masih bakal lebih lama di bali? :)))
BalasHapusbalik ke jogja, endaah..:)
Hapus