Selasa, 10 November 2015

Hari Terakhir Ubud Writers & Readers Festival: Tjokroaminoto dan Mata Jiwa

Gelaran festival ini sudah cukup lama saya dengar, semakin menggemuruh saat Mbak Sekar (@pembayunsekar) kakak tingkat beda jurusan di kampus menceritakannya melalui kartupos. Saat itu, menjelang keberangkatannya studi ke Swedia, ia sempat tinggal di Bali untuk beberapa bulan. Terasa girangnya ia saat berhasil menghadiri Ubud Writers & Readers Festival. Tahun ini giliran saya yang menetap di Bali. Ubud bukanlah jarak yang dekat dari Buleleng tepi utara. Namun niat yang kuat mengalahkan masa penyembuhan selepas sakit sekalipun. Saya ‘nekat’ mengendarai motor seorang diri, menembus dinginnya Kintamani demi mencicipi UWRF tahun 2015 ini.

Bersama Dyan (@graharidyan) –teman yang tinggal di Ubud, hari itu (01/11) kami memulai dengan menonton film Guru Bangsa: Tjokroaminoto di Betelnut CafĂ©, Ubud. Bagi saya, sebenarnya tidak ada klimaks yang menggigit dari film besutan Garin Nugroho tersebut. Meskipun seperti itu, menontonnya pun tidak juga membuat kami lekas bosan. Saya mengamini komentar Dyan, film Tjokroaminoto membuka wawasan kami mengenai sejarah bangsa ini, bangsa Indonesia. Mengenal kembali tokoh-tokoh negara Indonesia, seperti Tjokroaminoto, Haji Samanhudi, Agoes Salim, hingga Semaoen.

Film Tjokroaminoto juga sarat pesan. Di antaranya tentang konsep hijrah (pilgrimage) dan iqra’. Hijrah yaitu berpindah dari tempat yang buruk ke tempat yang lebih baik, sementara iqra’ bermakna membaca. Esensi dari keduanya adalah ketika seseorang mencapai setinggi-tingginya ilmu, sepintar-pintarnya siasat, dan semurni-murninya tauhid (mengesakan Allah). Dibintangi Reza Rahardian sebagai Tjokroaminoto dan dengan durasi kurang lebih 2.5 jam, Tjokroaminoto menjadi salah satu tontonan yang berkualitas dan layak disimak.

Majestic field of green.
Salah satu frasa yang menarik perhatian saya pada salah satu scene film Tjokroaminoto. Indonesia merupakan tempat hijau yang agung (Jw: ijo royo-royo). Fakta ini pula yang mungkin menginspirasi Koes Plus saat menciptakan lagu Kolam Susu, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Negeri yang kaya sumber daya namun belum terberdayakan dengan baik.


Seusai makan malam, saya dan Dyan beranjak menuju halaman Museum Antonio Blanco, tempat di mana pesta penutupan UWRF 2015 digelar. Beberapa musisi tampil silih berganti namun saya belum juga menemukan sesuatu yang menarik hingga presenter memberitahukan bahwa sebentar lagi yang akan tampil adalah Mata Jiwa. Duo musisi bergenre folk-pop dari Bandung ini tidak terlalu asing meski saya tidak akrab dengan lagu-lagunya. Rasanya saya pernah mendengarnya tampil saat menghadiri Pasar Seni ITB November 2014 lalu.

Digawangi Anda Perdana dan Ahmad Reza, Mata Jiwa menjadi penampil pamungkas yang menarik antusias penonton. Bagi yang pernah menonton Ada Apa dengan Cinta, Anda tentu bukan personil yang asing. Ia pernah turut menyanyikan lagu Tentang Seseorang sebagai soundtrack film AAdC tersebut.


Semesta. Lagu ini yang paling berkesan bagi saya. Liriknya dekat dengan alam dan sesama, membumi dan mengakar.

Berkelana rasuki dunia Berkelana menjalani dunia Di antara riuhnya semesta Di antara simpang siur semesta Selalu ingin mencari jawaban Selalu ingin mendapatkan jawaban Mencari arti semesta Berkelana dalam dunia Menyendiri dalam keramaian
Maka dua kebahagiaan di UWRF 2015 ini seperti nostalgia saya menonton film di IFI Jogja dan pertunjukan-pertunjukan seni lainnya di Taman Budaya Yogyakarta. Yeay! Terima kasih semesta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar