Sabtu, 27 Juli 2013

Jakarta #4: Pejalan Kaki


Berbicara mengenai transportasi dan jalanan ibukota mestinya menjadi persoalan yang sangat serius. Tak dapat dielakkan bahwa permasalahan moda transportasi sudah masyhur ke segala penjuru. Bahkan konon Jakarta dinobatkan sebagai kota ketiga di dunia dengan tingkat keruwetan yang sangat tinggi.

Jika di kampung halaman, jalanan selebar tiga meter cukup menjadi jalur alternatif yang sangat lengang. Maka di ibukota jalanan tersebut bisa menjadi jalan utama yang padat merayap. Bahkan mayoritas ruas jalan sudah tidak menyisakan ruang bagi pejalan kaki. Sepeda motor yang sangat lincah dan gesit menyalip kendaraan roda empat pun turut memanfaatkan trotoar. Belum lagi ruas-ruas jalan yang lebih parah, tidak memberikan trotoar. Alih-alih justru badan jalan langsung berbatasan dengan saluran air yang bisa dibayangkan warnanya: cokelat kehitaman. Dan sayangnya itulah yang terjadi di lingkungan tempat tinggal saya.

Memilih moda transportasi umum sebagai alternatif tentu saja bukan pilihan yang buruk. Namun bukannya tanpa kekurangan, stok kesabaran harus ekstra. Jarak dekat dapat tertempuh dalam waktu yang berlipat dari estimasi pada waktu-waktu tertentu, utamanya pagi dan petang. Apalagi saat Sabtu malam yang populer dengan istilah SatniteSaturday night. Sabtu malam rentan dengan padatnya kendaraan, paling parah saat kendaraan tidak dapat bergerak sedikit pun selama beberapa menit.

Apabila sudah seperti itu, perlu strategi tersendiri untuk menghindari kebosanan di dalam angkutan umum. Entah mendengarkan musik, berselancar di dunia maya, sekadar chit-chat dengan kawan-kawan, atau melongok ke luar jendela dan cukup menikmati saja perjalanan itu. Namun yang wajib diperhatikan kala menggunakan piranti teknologi di ruang publik, harus disertai kehati-hatian yang ekstra pula. Meski belum pernah mengalami sendiri, berita-berita negatif yang berseliweran melalui berbagai media sudah cukup menjadi bekal.

Hari-hari awal di ibukota saya memilih untuk bepergian ke kantor on foot, jalan kaki. Jarak ke kantor tidak terlalu jauh, lima belas menit berjalan kaki. Lumayan juga untuk sekedar berolahraga, sambil menyelam minum air. Nikmatnya tentu saja lebih menghemat pengeluaran harian. Dengan berkorban jalan kaki? Tidak. Berjalan kaki pada akhirnya menjadi suatu hal yang menyenangkan bagi saya. Hidup seorang diri membuat saya merasa tak perlu mengasihani diri sendiri secara berlebihan. Tak perlu merengek kehausan, jika saya masih bisa mendapatkan air minum. Tak perlu melonjak kelelahan, jika saya nantinya akan menemukan tempat duduk.

Tapi, ya tentunya masih ada tetapi. Tetapi polusi udara Jakarta begitu buruk. Tetapi harus berhati-hati berbaur dengan padatnya berbagai macam kendaraan yang lain. Tetapi udara panas dan tidak ada pohon-pohon perindang. Tetapi harus waspada dengan berbagai hal yang mungkin akan terjadi. –Tetapi hal itu tidak bisa memupus niat saya untuk tetap berjalan kaki. Hehe.

Selasa, 16 Juli 2013

Jakarta #3: Seperti Orang Hilang


Petualangan pagi pertama saya di ibukota dimulai dengan sambutan semburat cahaya matahari. Tidak ada lagi kokok ayam yang saling bersahutan atau tetes-tetes embun yang masih menempel di muka daun. Sepanjang pandang mata hanya bangunan-bangunan rapat hingga hanya tersisa sedikit lahan untuk tempat bertumbuh pohon hijau. Kendaraan pun mulai ramai berjalan pelan, terlalu sulit untuk saling menyalip.

Ini adalah kisah yang paling resah dan paling ingin kusembunyikan, gejolak-gejolak yang mampu menggoyahkan langkah dan membuat menyerah. Sebelum mendapatkan tempat tinggal sementara di Jakarta, saya memutuskan transit sejenak. Di mana? Keputusan terakhir yang saya ambil, di kost temannya teman saya. Cukup asing sebenarnya karena kami belum pernah sekalipun bertemu. Saya hanya mengandalkan apa yang namanya trust (mungkin).

Rasa segan mendadak hadir saat saya tiba di sana lebih pagi dari waktu yang diperkirakan. Saya tiba pukul enam pagi. Menjumpainya untuk pertama kali, dan rehat sejenak. Sebelum akhirnya saya terbangun dan merasa terlalu siang untuk berputar ke lokasi calon tempat tinggal saya di rantau yang sebenarnya. Jujur, kecewa kepada diri sendiri. Apa yang sudah dimulai, harus segera diselesaikan. Bergegas saya berangkat untuk petualangan perdana di belantara ibukota.

Dengan berbekal peta hasil mencetak dari sebuah situs di internet, saya nekat. Sendirian? Ya. Saya naik angkot putih dengan kode C9 kalau tidak salah ingat, jurusan mana, saya pun lupa. Benar-benar buta arah. Hingga akhirnya saya dioper ke angkot berwarna biru muda yang kemudian saya tahu itu menguasai rute Ciputat-Pasar Jumat-Kebayoran. Seturunnya dari armada itu, hujan mendadak turun deras sekali. Beruntung “pemandu” dadakan saya, seorang anak kecil yang saya temui di angkot tadi memilih pemberhentian di halte. Dan itu berarti saya sudah sedikit lebih dekat dengan destinasi.

Halte itu ramai. Tapi saya merasa sendirian, sepi. Ingin menangis seiring jatuhnya limpahan air dari langit. Apakah saya akan semudah itu menyerah? Hingga jarum jam bergeser dari angka dua belas, hujan tak jua reda. Lalu sampai jam berapa kah saya harus bertahan ‘tak bergerak’ di sini. Seakan selama beberapa waktu itu saya hanya menghitung tik tok detik sang waktu. Cemas, khawatir, takut, senyap jadi satu.

Begitu jarum jam mulai bergeser menjauhi angka satu...
Syukur, hujan mereda. Saya dan anak kecil itu pun berpisah dan belum bertemu kembali. Saya langkahkan kaki, usai menanyakan kembali arah menuju destinasi saya. Sempat terdapat simpang siurnya informasi. Ternyata orang setempat pun tak begitu familiar dengan daerahnya sendiri. Selamat datang di angkot merah KWK 08. The most favourite angkot then. Dengan angkot itu akhirnya saya menemukan destinasi saya.

Dan perjalanan belum usai, kawan. Kemana saya akan mencari tempat tinggal sementara. Ask someone who you believe! Dari sana saya mengenal bapak penjual mollen di depan kantor yang ternyata asli Jawa Tengah, logat ngapak-ngapak seketika kental. Lalu mbak penjual nasi yang asli Pemalang, akhirnya menjadi tetangga selama sebulan pertama di Jakarta. Dan tak lupa bapak penjaja bubur ayam yang juga orang Jawa Tengah, yang begitu baik hati. Tahukah kamu, ada kebahagiaan tersendiri saat kita merantau, lalu di rantau itu bertemu dengan sosok-sosok dari daerah yang hampir sama. Paling tidak memiliki bahasa ibu yang tipikal.

Baiklah, setelah dalam gerimis menjelang sore yang akan sangat dramatis jika diabadikan saya berputar-putar dari satu gang ke gang yang lain: saya mendapat tempat tinggal sementara. Paling tidak saya sudah menyelesaikan tantangan itu. Meski tidak well-done. Meski saya pulang kembali ke tempat transit pun diiringi dengan hujan yang kian deras mengganas. Payung pun tak kuasa menahan hempasan air, alih-alih justru terbawa angin.

At last: akhirnya malam harinya kami, saya dan teman baru saya, crash. Rasanya tak perlu saya ceritakan kawan. Saya tidak tega kamu mendengarnya. Benar jika malam itu kamu mengira saya menangis, tapi itu tangis kebahagiaan dan kesedihan, kawan. :)

PS: thanks and sorry for whoever include in this journal, please don’t mind, you’ve made me better and stronger.