Lebih sederhana manakah antara merawat bayi yang baru saja
lahir atau orang tua yang telah renta? Jika dikomparasikan dengan lingkup
kebahagiaan, rasanya merawat bayi itu lebih menyenangkan?
Kini aku telah merasakan keduanya. Sembilan tahun yang lalu,
tepat dalam transisi jenjang sekolah menengah pertama dan sekolah menengah
atas, adik bungsuku lahir. Sementara itu ibu tengah menyelesakan studi strata
duanya. Tak ayal, saat ditinggalkan sendirian di rumah, akulah yang jadi “tukang
jaga”. Sosok bayi di luar konteks rewel, ia hanya akan merengek ketika lapar,
haus, atau buang air. Selebihnya biasanya ia akan tidur.
Berbeda dengan orang tua yang telah mengarungi bahtera
kehidupannya selama berpuluh-puluh tahun. Di masa lanjut usianya, mereka akan
cenderung memiliki keinginan-keinginan atas apa yang dirindukannya dan apa yang
biasa dilakukannya semasa hidup sebelumnya. Rasa miris dan sedih juga cenderung
lebih mudah muncul. Setelah kami sekeluarga merawat almarhum kakek yang lalu
dipanggil-Nya tepat di bulan September tahun lalu; belum genap setahun kemudian,
kami mendapat tugas besar untuk merawat nenek di tahun ini.
Ada sebaris kalimat yang sering diucapkan orang bahwa siklus
hidup manusia itu berputar. Dari yang tidak ada akan kembali menjadi tidak ada.
Dari yang bayi kelak di masa tua akan kembali lemah seperti saat setelah
dilahirkan. Dan untuk itu, semuanya musti mempunyai kesabaran dan keikhlasan
berlebih. Tiba-tiba sulit membayangkan apabila kelak di masa tuanya, tidak ada
anak yang tinggal satu kota dengan orang tuanya. Beruntung, apabila di saat
lemahnya, orang tua mau berpindah rumah dan tinggal bersama anak-anaknya. Jika
tidak, tentu sang anak akan wira-wiri dengan kegiatan yang kadang tidak mampu
dikompromikan.
Jurus telaten dan open (e dibaca seperti membaca e dalam paten) yang diuraikan ustadz di kantor
beberapa hari lalu sepertinya juga harus dijadikan senjata dalam hal itu. Dua kata
yang akan memupuk langkah darma bakti kepada orang tua. Dua kata yang akan
mendongkrak kuota sabar dan ikhlas. Birrul
walidain seperti itu berat, utamanya saat sebagai individu sudah dihadapkan
pada kesibukan-kesibukan lain di luar perimeter tempat tinggal.
“Urip iku mung mampir
ngombe,” begitu kata dosen “kejawen” (arsitektur tradisional jawa) di bangku
kuliah dulu yang kemarin sempat tercetus di bangku kantor. Ya, hidup itu hanya
sebentar selayaknya seorang musafir yang beristirahat sejenak sebelum kemudian
melanjutkan perjalanan panjangnya menuju tujuan yang abadi.
write is not just because i wanna to write
moreover, write is my healing process
i need that healing one as i want to tell this
Tidak ada komentar:
Posting Komentar