“Ketika anak baru mau berbakti, apa daya orang tua tak sanggup lagi menanti.”--Pepatah Tionghoa
Hari ini.
Satu tahun (lebih empat hari) yang lalu, mbah kakung
telah dipanggil menghadap Sang Pemilik setelah dalam kurun satu tahun kondisinya
berangsur-angsur melemah. Dan hari ini, mbah putri pun telah menemui takdirnya
untuk melanjutkan perjalanan menuju ke kehidupan yang abadi.
Dua tahun.
Bagi kami, utamanya bapak sebagai putra yang bertempat tinggal
paling dekat, momen selama kurang lebih dua tahun merawat orang tua adalah
bakti yang harus dipenuhi keikhlasan dengan luasnya kesabaran. Tak mudah, jujur
sangat tak mudah mengingati semua perjalanan yang telah lalu. Tak mudah menepis
keirian dengan saudara-saudara yang lain atas tanggung jawab yang sesungguhnya
begitu mulia ini namun merasa “terpaksa” harus dipikul. Ketika keinginan-
keinginan ini dan itu harus ditepis terlebih dahulu demi tugas ini. Ketika
langkah-langkah ini dan itu harus dibebat sementara. Ketika harapan dan
cita-cita yang telah tersemai musti dikondisikan dengan realitas.
Kami menjadi jarang bepergian bersama-sama dan
merencanakan keluar rumah. Paling tidak satu orang diantara kami harus tinggal
di rumah, lalu merekues kepada yang lain untuk lekas kembali. Kekhidmatan
shalat Ied Fitri bersama umat muslim lain, tempo kemarin pun tak sempat
kurasakan karena harus menunggui mbah putri. Ingin menitikkan air mata? Iya.
Tetapi kuyakini ini adalah pengalaman demi pengalaman yang harus kulalui karena
kelak ketika orang tua kita sendiri beranjak renta, kita pun akan mengalami hal
serupa. And all that I know is it will be
such a relief. Semua itu kini menjadi kenangan, kenangan yang tak akan
pernah bisa diulang. Rekaman di tengah memori otak yang tak bisa disesali.
Sementara itu, kondisi bed-rest
memerlukan pelayanan dalam hampir setiap aktivitas. Minum, makan, duduk,
bersih-bersih, A-Z dan tidak memandang waktu –entah pagi, siang, sore, senja,
malam, atau dini hari. Titik nol. Semuanya seperti kembali layaknya saat
terlahir ke dunia. Aku dan adikku seringkali berebutan saling tunjuk ketika
salah satu dari kami dipanggil mbah putri. Bahkan beberapa hari belakangan aku
dan ibu yang saling sikut-sikutan. Apalagi
jika itu terjadi sepulang kami dari kantor. Lelah bekerja di kantor yang kuakui
tidak seberapa jika dibandingkan dengan lelah mengerjakan pekerjaan rumah yang
tiada habis-habisnya, tanpa sadar itu memengaruhi. Ilmu ikhlas dan sabar dalam
hal ini benar-benar sulit ternyata.
Dan aku, kita, kami: rasanya masih terus harus belajar.
“Perjalanan adalah melihat rumah sendiri layaknya pengunjung yang penuh rasa ingin tahu, adalah menemukan diri sendiri yang selalu baru, adalah menyadari bahwa Titik Nol bukan berarti kita berhenti di situ. Kita semua adalah kawan seperjalanan, rekan seperjuangan yang berangkat dari Titik Nol, kembali ke Titik Nol. Titik nol dan titik akhir itu ternyata adalah titik yang sama. Tiada awal, tiada akhir. Yang ada adalah lingkaran sempurna, tanpa sudut tanpa batas. Kita jauh melanglang sesungguhnya hanya untuk kembali.”--Agustinus Wibowo, Titik Nol.
Semoga kelak kami dan kita akan dipertemukan kembali dalam
kebahagian, suka cita di jannah-Nya yang abadi. Aamiin.
Selamat melanjutkan perjalanan, mbah putri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar