|
Melalui kisi-kisi itu, saya melihat luasnya dunia. |
Menyambung catatan saya
sebelumnya, saya sempat menyatakan akan menuliskan perbincangan dengan Dhilla
mengenai Indonesia dan negara-negara modern di luar sana.
Dhilla mengawali perbincangan
dengan menceritakan teman bulenya.
Dhilla : Kemarin pertama kali yang kutanyakan kepadanya
apakah yang pertama kali terpikirkan saat kamu tiba di Indonesia? Dia bilang
orang Indonesia itu sangat konsumtif. Dia bilang di negara kami, kami tidak
pernah memikirkan barang itu produk trend
kapan, terbuat dari apa, apa merknya.
Apa yang ada, itulah yang kami pakai.
Saya : Benar, Indonesia itu negara yang paling
konsumtif dalam hal gadget. Aku
pernah mendengarnya meskipun lupa di mana dan siapa yang mengatakannya.
Dhilla : Iya, teman
buleku kemarin juga bilang sama aku, “Semua orang Indonesia itu punya smartphone. For us, phone is just for calling and texting. Email dan sebagainya
bisa dilakukan di kampus.” Lalu dia juga tanya sama aku, “Why are you always looking on your phone?” Kuceritakan padanya kalau
aku punya grup WhatsApp teman-teman S2 dan kita sedang membahas tugas yang
diberikan dosen. Pas dia kukasih lihat grup WhatsApp itu, dia komentar, “Why are all of you crying?” Kukatakan
padanya kalau kita sedang sedih dapat tugas yang sulit dari dosen. Eh dia malah
bilang, kenapa kalian nggak ketemu saja. Kalian bahas bareng-bareng tugasnya,
kalian kerjakan bareng-bareng. Permasalahannya dipecahkan bersama. Bukankah
justru lebih cepat selesai?”
Saya : Memangnya kondisi kampus sudah mendukung?
Kampus buka sampai pukul berapa kalau malam?
Dhilla : Kalau kondisi
kampus sebenarnya sudah mendukung. Perpustakaan pusat buka sampai pukul delapan
malam. Ya kembali lagi, karakter orang Indonesia itu yang tidak mendukung.
Padahal sebenarnya kalau mengerjakan tugas di rumah atau kost, banyak
godaannya. Mau ini itu dululah hingga akhirnya melihat kasur yang melambai.
Saya : Lha kalau mereka –orang asing- di sana sampai
jam berapa di kampus?
Dhilla : Orang asing itu
tidak memiliki waktu luang seluang kita. Mereka di kampus biasanya sampai pukul
delapan atau sembilan. Ya, mereka mengerjakan tugas dan belajar di kampus. Oh
ya, teman buleku juga sempat bilang, “Kenapa sih orang Indonesia itu rajin posting di sosial media. Apakah mereka
tidak membutuhkan privasi? Ya, mereka terlihat bangga dengan apa yang mereka posting dan menurut mereka itu pantas
untuk dipamerkan ke orang lain.” Orang asing itu kalau ingin memperlihatkan
foto atau apapun yang ingin dipamerkan ke teman-temannya, mereka cenderung
gemar mengirimkannya secara pribadi melalui email.
Saya : Oh, pantas teman-teman kartuposku yang berasal
dari luar negeri jarang memiliki akun
sosial media. Kalaupun ada, mereka juga jarang membukanya. Mereka juga jarang posting hal-hal yang tidak penting.
Bahkan temanku dari Jerman menolak saat aku merekues untuk berkiriman email, untuk
saling bertukar cerita mengenai negara masing-masing. Dia bilang, “I am prefer in snail-mail than e-mail.”
Dhilla : Memang ada sih orang yang seperti itu tetapi
tidak semuanya. Bagi mereka, menerima surat atau kartupos adalah hal yang
personal dalam hubungan antar sesama. Pasti ada sesuatu yang berbeda begitu
menerima dan memegang surat atau kartupos itu.
Saya : Benar, saat
menerimanya akan muncul perasaan bahwa komunikasi itu nyata. Ada bukti yang
bisa dipegang tanpa mempergunakan perangkat lain. Berbeda dengan email yang
butuh alat seperti smartphone atau
PC.
Percakapan berjeda sejenak.
Dhilla : Gimana kemarin,
jadi periksa ke dokter spesialis paru?
Saya : Nggak jadi, sudah mulai sembuh kok saat itu.
Jadi ya kukontrol dengan air putih dan makanan saja.
Dhilla : Iya, lagi pula
yang penting kalau lagi nggak fit ya dengan mengkatrol pasokan air putih dan
makanan.
Saya : Sebenarnya pas tes dahak itu aku sudah nanya
ke dokternya, perlu rontgen dulu apa nggak. dia bilang nggak dulu nggak
apa-apa. Eh, akhirnya dapat antibiotik lagi. Nggak kuminum deh. Padahal ya,
kalau di luar sana dokter nggak akan kasih obat kalau belum benar-benar
dinyatakan sakit. Kalau di sini sedikit-sedikit dikasih antibiotik, kata
temanku yang kuliah farmasi sih.
Dhilla : Kalau di luar sana, kayak saudaraku kemarin,
dia panas terus dibawa ke dokter. Dokternya ya cuma sebagai konsultan gitu.
Katanya nggak apa-apa, ya sudah dibawa pulang lagi tanpa dikasih obat.
Saya : Wah keren ya.
Dhilla : Iya karena
tubuh masih bisa memproteksi dengan antibodi, kalau antibodi udah lemah, baru
deh dikasih obat. Kalau sedikit-sedikit dikasih obat, antibodinya akan lemah
karena nggak dilatih.
Saya : Dan jadi ketergantungan obat kan ya?
Terus ya
di sana itu rekam mediknya canggih ya, antar satu klinik atau rumah sakit
saling tahu catatan kesehatan seseorang. Semuanya sudah serba online. Kalau pindah rumah sakit nggak perlu
khawatir karena dokternya udah bisa tahu catatan dokter lain.
Dhilla : Tiap dokter
bertanggungjawab pada lima keluarga, jadi tiap keluarga sudah punya catatan
sendiri-sendiri di dokter pribadi. Negara udah menjamin itu.
Saya : Indonesia? Oh
ya, tentang ultrasonografi pada bayi juga berbatas. Aku pernah baca blog Mbak
Sekar, dia cerita kalau selama sembilan bulan itu sudah ditentukan kapan jadwal
USG. Cuma sekali saja kecuali ada kasus yang tidak normal. Karena pas proses
itu, bayinya akan merasa nggak nyaman malah tersiksa kayaknya. Kasihan.. Coba di
Indonesia, tiap bulan USG.
Dhilla : Iya kok,
soalnya pas USG itu kan ada sinar yang masuk trus mantul-mantul apa gimana gitu
sehingga muncul gambar itu. Mungkin bayinya silau kali ya.
Saya : Bisa jadi. Terus tentang susu bagi ibu
hamil...
Dhilla : Di sana nggak
ada, cuma Indonesia aja yang begitu.
Percakapan itu masih berlanjut dan bagi saya bertemu
Dhilla di And/Or Bookstore sembari mencicipi hidangan khas Roti Papi begitu
berharga. Memiliki kenalan orang asing atau setidaknya teman yang tinggal di
negara asing seakan membukakan cakrawala. Untuk belajar berpikir tidak seperti
kebanyakan orang Indonesia (yang negatif). Bukan berarti Indonesia adalah
negara dengan minus positif, melainkan tidak ada yang salah bukan ketika
mempelajari hal berharga dan bernilai baik dari budaya lain.