Hope you have a lot
of nice things to wear,
But then a lot of
nice things turn bad out there.
It is a wild world,
It’s hard to get by
just upon a smile.
It is a wild world,
I always remember
you like a child, girl.
You know i’ve seen
a lot of what the world can do.
(Mr Big, Wild World)
Potongan lirik lagu itu mendengung dari kamar adik saya menjelang
keberangkatannya ke Gunung Merbabu pada 12/02 malam. Lagu yang kini menjadi
lagu favorit kami berdua setelah dipopulerkan lagi oleh Devirzha –melalui ajang
pencarian bakat. Entah mengapa saya merasa akan terjadi sesuatu. Lirik lagu itu
mengisyaratkan sebuah perpisahan, memuat pesan layaknya ia berkata pada saya
yang masih seperti anak kecil. Semoga saja tidak akan terjadi apa-apa pada
pendakian perdananya.
Namun pada 13/02 senja hari di saat saya melakukan fitting blazer untuk seragam kantor,
saya merasakan gerah yang luar biasa. Tidak seperti biasanya. Saya pikir itu
pengaruh kain blazer yang saya
kenakan. Namun semakin larut, kegerahan itu tak jua surut. Saya yang jarang
meneteskan keringat, kali itu berpeluh, dibarengi suara-suara dentuman di
kejauhan. Ini bukan halusinasi semata bukan? Channel televisi pun segera saya alihkan ke stasiun yang menyajikan
berita. Tak dinyana status awas Gunung Kelud satu jam yang lalu, telah berakhir.
Kelud telah memuntahkan isi perutnya.
Beberapa jam kemudian, saat subuh tiba kegemparan
terjadi. Hujan abu mengguyur. Matahari tak tampak sama sekali. Pagi yang
seharusnya telah bercahaya, terlihat redup. Jam-jam sibuk persiapan berangkat
ke sekolah dan kantor menjadi waktu yang cukup heboh. Tidak mungkin akan keluar
dan beraktivitas layaknya seharusnya. Hujan abu terlampau deras, terlebih bagi
saya yang masih dalam tahap penyembuhan pasca terjangkit bronchitis.
Dalam sekejap, abu telah menebal. Tidak saja melapisi jalan, halaman, dan beranda. Debu vulkanik mulai menyusup melalui lubang-lubang angin meski telah rapat tertutup tirai. Menyelimuti benda-benda yang mampu dijangkaunya. Mendarat di mana saja tanpa memilih permukaan. Dalam sekejap semuanya menjadi tampak monokrom, tak perlu filter effect lagi untuk menghasilkan kualitas foto yang dramatis.
Sepanjang hari debu mengepul, kota menjadi mati. Denyut
nadi kehidupan mendadak lumpuh. Hujan air yang dinanti tak segera turun, untuk meluruhkan
debu yang beterbangan dan membilas udara yang “berkabut”. Praktis, penutup
hidung harus senantiasa terpasang sekaligus kacamata apabila ingin keluar. Perlindungan
serba ekstra.
Alhamdulillah siang hari adik saya kembali dari
perjalanannya, meski tidak sampai puncak, ada hal lain yang patut disyukuri.
Kami kembali bersama dalam situasi serba hitam putih ini. Dan teramat sangat
yang ingin saya syukuri adalah debu vulkanik tidak terlampau mengganggu pernafasan
saya seperti yang saya khawatirkan saat hujan abu datang di pagi itu. Good bye, bronchitis! Terima kasih saya
haturkan kepada: dr. Toni & dr. Sih
Rahayu di klinik dekat rumah; dr. Iken Agustina saat dirujuk ke
Puskesmas Sleman untuk tes dahak; terakhir dr. Rossi Winata & dr. Yuni saat
tahap rekam thorax di RS PKU
Yogyakarta.
Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar