Hampir pukul sebelas
waktu Indonesia tengah. Sunyi. Malam kian larut, yang terdengar hanya
suara-suara binatang nokturnal. Lalu baru saja sebutir kelapa terdengar jatuh
dari pohonnya di halaman depan paviliun. Sesekali suara sepeda motor melintas
entah di jalan sebelah mana.
Belajar
mendengar. Setidaknya frasa itu menjadi esensi kegiatan inisiasi yang sudah dua
kali dilakukan selama saya berada di Rumah Intaran. Kami bertiga, saya, Hafs,
dan Eka, sebagai peserta program “300 Hari di Rumah Intaran” diajak ke suatu
tempat untuk berdiam selama kurang lebih delapan puluh menit. Membisu selama
itu dan membiarkan pendengaran, penglihatan, serta rasa bekerja.
Pada inisiasi
tahap pertama (11/02), kami pergi ke persawahan di kawasan Desa Sudaji. Area
tersebut menghijau berkontur dengan petak-petak terisi rumpun-rumpun padi.
Setelah melepas alas kaki, saya memilih turun ke bawah, ingin melihat
pegunungan sekaligus mengintip sungai dan jembatan, serta memandangi sawah di
lembah sana. Tepat di jalan setapak menurun saya berhenti dan duduk begitu saja
di atas rerumputan liar. Ya, di tempat itu saya akan berdiam, belajar mendengar.
Burung-burung
bercericit, sesekali terdengar suara anjing menggonggong. Daun-daun berkerisik
tertiup angin. Di bawah sana air mengalir menimbulkan riak-riak kecil.
Sementara itu para petani terlihat bekerja di ladangnya. Waktu terasa begitu
lambat berjalan. Bagaimana tidak, berdiam saja selama satu jam lebih tentu saja
membosankan. Mendadak rintik-rintik hujan mulai
menembus rerimbunan pohon yang menaungi saya. Lantas terdengar suara Eka
memanggil, menandai selesainya “pertapaan”.
Selanjutnya
kami berdiri di tengah-tengah lumpur sawah sembari menjawab beberapa pertanyaan
sekaligus membacakannya di hadapan teman-teman dan Bapak Gede Kresna. Pertanyaan-pertanyaan
tesebut seputar apa yang kami dengar, kami rasakan, dan kami perhatikan dalam
diam tadi.
Bapak Gede
Kresna menuturkan bahwa ada kalanya kita sebagai arsitek hanya menuruti
kehendak investor, mendesain tanpa mengetahui atau bahkan merasakan kondisi
tapaknya. Seringkali nekat merancang tanpa pernah datang ke lokasi. Jika
ternyata lokasi tersebut adalah sawah, kita tidak merasakan prihatin sedikit
pun, justru bangga telah mendesain bangunan keren. Lebih lanjut, kata Pak Gede
Kresna, “Arsitek itu tidak semata-mata tentang bangunan tetapi mengenai pra
desain yaitu lingkungan.”
Inisiasi tahap
kedua berlangsung sepuluh hari kemudian (22/02), kami bertandang ke tepi laut.
Buleleng merupakan kawasan yang berbatasan langsung dengan pantai, Rumah Intaran
pun letaknya tidak begitu jauh dari pantai. Kami menyusuri jalanan yang
menikung-nikung di bibir pantai, hingga sampai di Desa Pacung. Kali ini saya
memilih tempat di antara bebatuan karang dimana saya bisa bermain dengan
buih-buih ombak juga bertengger di atas batuan.
Lima belas
menit pertama saya habiskan dengan berkecipak di sela buih-buih putih ombak.
Lembutnya ombak saat menerpa kaki tidak pernah sama. Sekali, ombak datang
begitu keras membawa kerikil agak besar yang terantuk di kaki. Kejutan-kejutan
dalam inkonsistensi. Lima belas menit berikutnya saya memutuskan naik ke atas
batuan yang tak begitu tinggi. Sesekali cipratan ombak yang mengenai batuan
masih terasa. Namun saya memilih menatap laut lepas, memandang jauh ke depan
yang seolah tidak berbatas. Melihat kontinuitas gelombang yang datang
tanpa henti.
Hingga
akhirnya saya lelah melihat dan mendengar. Saya pun mencoba memejamkan mata,
dan mencari-cari apa yang saya dengar. Ajaib! Entah mengapa saya justru
mendengar deru lalu lintas di saat hujan, persis seperti saya sedang menunggu
bis di halte. Begitu saya membuka mata, kedamaian sangat terasa. Saya bersyukur
Tuhan telah menganugerahkan penglihatan dan pendengaran yang saling
terintegrasi sehingga apa yang saya lihat dan dengar menjadi kesatuan yang
apik.
Sampai
selesainya waktu berdiam, saya menghabiskan waktu dengan bolak-balik nyemplung dan bertengger. Sampai
akhirnya saya melihat kepiting mati, koloni kerang-kerangan, juga nelayan yang
tengah mempersiapkan jala. Sempat saya memperhatikan seorang nelayan yang kemudian balik nmemperhatikan saya sembari berbincang dengan
rekannya. Sesekali tersenyum dengan kawannya namun mata tak kunjung berpaling.
Mungkin tidak biasa melihat orang berdiam saja seorang diri.
Pertanyaan-pertanyaan
inisiasi laut tidak terlalu berbeda dengan inisiasi sawah. Hanya saja bobotnya
lebih serius menggali persoalan-persoalan yang kemungkinan akan terjadi pada
tempat inisiasi tersebut. Akan menjadi seperti apa pantai tersebut kelak?
Bagaimana seharusnya yang harus dilakukan terhadap pantai ini? Seberapa besar
tingkat kepemilikan warga terhadap pantai? Apa yang dikatakan laut ketika ia
menerima sampah-sampah daratan setiap hari?
Inisiasi
adalah perenungan bagi saya. Yang seharusnya tidak semata-mata dilakukan hanya saat ada jadwal
inisiasi, namun sebisa mungkin dilakukan setiap saat, di manapun berada.
Karena mendengar dan mengerti lokasi memerlukan latihan. Dan setelah itu,
semoga lebih bijak melangkah.
Masih ada
inisiasi ketiga.