"
berlayar di atasnya; berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma; berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya; sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja--perahumu biar aku yang menjaganya.(Akulah Si Telaga, Sapardi Djoko Damono)
“Teman, besok Minggu saya berangkat ke Bali.”
Kurang lebih seperti itu intisari kalimat yang saya
kirimkan ke beberapa teman di Yogyakarta kala itu. Dan itu terasa mendadak bagi
beberapa kawan dekat. Terlebih saya memang tidak menceritakan kepada mereka ketika
saya memasukkan aplikasi untuk program “300 Hari di Rumah Intaran”. Hanya dua
teman kantor saja yang saya beritahukan secara detail hal ini termasuk hari
pengumuman agar mereka dapat bersiap jika saya benar-benar memutuskan hengkang
dari kantor.
Namun memang cukup bimbang untuk mendaftar karena saat
itu saya masih berstatus sebagai staf arsitek di salah satu perusahaan
pengembang di Yogyakarta. Teman-teman yang begitu menyenangkan tentu menjadi
pertimbangan penting untuk tetap bertahan di sana. Tapi kapan lagi kesempatan
ini muncul kalau bukan sekarang. Dan pada detik-detik terakhir barulah saya
mengirimkan persyaratan-persyaratan yang diperlukan.
Sampai akhirnya pada suatu senja saya membuka email dan
menemukan surat pemberitahuan bahwa lolos seleksi program tersebut. Positif. Saya
akan meninggalkan Yogyakarta dan teman-teman di kantor. Rentang waktu itu cukup
singkat untuk menyelesaikan dan mempersiapkan semuanya. Senin (27/01) pagi saya
menghadap manajer divisi untuk mengatakan secara langsung keputusan itu, meski
saya tahu diam-diam sebenarnya beliau sudah mengetahui rencana saya dari kawan
sedivisi.
“Secara posisi di
divisi, saya sangat berat melepasmu. Pekerjaan kantor sedang banyak, apalagi
proyek berikutnya akan segera launching.
Tapi secara pribadi, kalau memang itu sudah keputusanmu dan kamu mantap, kamu
yakin akan mendapatkan hal yang kamu inginkan di sana, saya tidak bisa apa-apa.
Kamu masih muda, carilah sebanyak-banyaknya pengalaman.”
Singkatnya seperti itu kalimat pelepasan saya dari
panjang lebar nasihat beliau yang akhirnya cukup membuat air mata menderas. Dan
pembicaraan tersebut hanyalah langkah pertama saya berpamitan, saya masih harus
menghadap manajer operasional, direktur, dan yang terakhir komisaris utama. Semua
kecemasan pun purna, permohonan saya untuk keluar setelah satu setengah tahun
bergabung pun terkabul. Meski saya tetap harus masuk kantor hingga hari Sabtu
sebelum esoknya berangkat ke bandara. Juga meski selepas resign saya masih harus adaptasi dengan beberapa klien yang merasa “kehilangan”.
Untuk ini terpaksa saya harus mengucapkan, “Maaf tidak dapat membersamai
pembangunan rumah hingga proses serah terima.”
Berikutnya, saya harus mendapatkan “paspor” dari dokter gigi,
menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang tersisa, transisi sebuah kepanitiaan,
hingga mencari tiket pesawat. Tak lupa farewell
party bersama teman-teman kuliah di tempat-tempat yang mungkin akan saya
rindukan kelak, salah satunya: Angkringan KR. Selain itu, saya berusaha mencari
kontak teman-teman yang akan membersamai saya dalam tiga ratus hari ke depan. Bersepakat
saling bertemu di bandara lalu berangkat bersama menuju Rumah Intaran akhirnya menjadi pamungkas pamitan saya kepada
Ibu yang terus menerus bertanya bagaimana nanti selepas dari bandara.
Minggu, 1
Februari 2015
Pagi itu selepas subuh menjadi hari yang “sibuk”. Ibu
memasak lebih pagi, masakan spesial yang jarang beliau sajikan. Kemudian Bapak
mendadak menasihatiku saat saya mengunci koper. Cukup singkat dan dalam. Jarang
sekali Bapak menasihatiku seperti pagi itu padahal ini adalah untuk keempat
kalinya saya berpindah kota. Aku tak ingin menatap mata beliau, tak ingin
melihat setetes air mata di sudut kelopak matanya seperti yang telah lalu saat
melepasku berangkat.
Pesawat pukul setengah sembilan akan menerbangkanku dari Bandara
Adisucipto Yogyakarta menuju Bandara Ngurah Rai Denpasar. Banyak hal yang akan saya
tinggalkan, namun saya yakin akan lebih banyak hal yang akan saya dapatkan.
Pesawat mulai mengambil ancang-ancang untuk terbang, ketinggian pun pelan-pelan
bertambah, hingga akhirnya melaju di atas awan. Sampai jumpa
kembali Yogyakarta.
Tidak
terasa hari ini tepat dua minggu setelah saya tiba di Bengkala. Saatnya
menelepon rumah?
waaaa.... Rumah Intaran *dari pertama kali dengar kata "intaran" dari Mbak Sela langsung tertarik. katanya itu nama pohon yang bisa buat obat
BalasHapusselamat Rofida.. pasti nyenengin ^^
ngeblog lagi ah buat menyimak ceritamu
Cerita tentang daun intaran akan aku post setelah ini, niique. Doakan aku hehe.
HapusSelamat juga yaa meniique!
nggak kebayang musti gerak cepat dalam waktu sesingkat itu :)
BalasHapuswah, dinasihati apa sama bapak? ^_^
hehe. ya seperti itulah waktu itu. riweuh sana sini dulu.
Hapusdinasihati intinya untuk tetap ingat shalat dan alqur'an, ndah. mendasar banget ini..