memasak dengan tungku |
Matahari tenggelam
di langit Bali lebih lambat, pukul tujuh malam langit baru memucat sebelum
akhirnya benar-benar gelap. Tak berbeda dengan pagi hari yang mataharinya tiba
lebih siang. Aktivitas pagi kami baru dimulai kurang lebih pukul tujuh saat cahaya
mulai merekah. Setelah menyelesaikan shalat subuh dan tilawah tak jarang saya
akan kembali meringkuk di balik selimut, menunggu sejenak secercah cahaya
menyusup dari sela kisi-kisi.
Seperti
hari-hari kemarin, hari ini kami memulai hari dengan menyiapkan sarapan untuk
kami sendiri. Memilih dan memilah kayu bakar, juga menjumput beberapa lembar danyuh (daun kelapa kering, Jw: blarak) sebagai pemantik, lalu mencoba
peruntungan menyalakan tungku dari tanah pol-polan. Merebus air, mengukus
pisang, ketela, atau merebus kacang, atau perpaduan dua-tiganya. Tak lupa memetik daun intaran sebagai
sisipan di awal suapan.
Menyalakan api
dengan tungku juga tidak
mudah. Ada beberapa proses yang harus dilalui, tidak seperti hanya memutar pembuka
aliran gas dan memencet tombol
penyala api. Walaupun di kampung halaman terdapat tungku namun cukup jarang
dipakai untuk memasak. Maka, menyentuh kembali tungku tradisional seperti ini memang
memunculkan nuansa baru bagi saya.
Menggoreskan
korek api pada sisi pemantiknya, menautkannya dengan danyuh, tidak semudah yang dibayangkan. Hingga saya merasa bahwa
korek api di sini lebih mudah rapuh dan apinya menjalar cukup cepat. Perlu
adaptasi sembari menemukan cara untuk menjawab pertanyaan “bagaimana”. Proses-proses
tersebut menuntut kesabaran untuk tidak mudah menyerah. Ketika danyuh mulai menyala pelan-pelan tetap masih
harus menambahkan kayu atau tempurung kelapa untuk menghasilkan nyala api yang lebih
stabil.
Setelah itu
api tak lantas dapat ditinggalkan begitu saja, bisa jadi api kemudian akan mati
karena telah mencapai batas luar tungku. Kalau sudah begitu, kayu harus
dimasukkan sejengkal demi sejengkal lagi. Belum lagi apabila terpapar asap yang
membuat pedas mata.
Maka di
sinilah akhirnya saya mulai belajar untuk “belajar”, menghayati tiap laku dan
pola pikir masyarakat terdahulu. Menekuri apa yang mereka maksudkan dengan “penemuan”
tersebut. Bahwa tidak sekedar karena saat itu teknologi belum mencapai titik
yang lebih modern. Namun bahwa masyarakat saat itu dengan kejeniusannya mampu
memahami kehendak dan kebaikan alam. Kayu-kayu atau ranting-ranting pohon yang berjatuhan mampu disulap
untuk membuat bara demi melanjutkan hidup. Kontemplasi untuk mensyukuri apa
yang ada di sekitar kita tanpa menggerus zat yang tak mampu diperbarui dan
menghasilkan elemen yang tak dapat diurai.
Dan akhirnya, voila!
singkong kukus dan daun intaran |
menu lengkap ala intaran |
daun intarannya itu dimakan langsung mentah gitu kah?
BalasHapusngebaca tulisan ini serasa lagi mencium aroma khas kayu bakar dan singkong rebus hangat *trus lapar XD
iya, dimakan mentah gitu selembar per hari. sini2, aku baru makan ubi rebus :-p
HapusWah, fotonya menggugah sekali. Favoritku pisang kukusnya :') duh jadi kangen dadong di rumah yang selalu siap sedia dengan menu serupa saat sarapan.
BalasHapusMakasih doi, pasti kangen pisang kukus karena sekarang sudah di amrik. Keren!
Hapus