keranjang bambu menjadi dinding kantor |
(Email pertama dari Rumah Intaran)
Salam hangat dari
Bali!
Setelah
menempuh perjalanan udara dari Jogja menuju Denpasar serta menembus hutan
berkabut tanpa sinyal, akhirnya Minggu malam itu (01/02) sekitar pukul sembilan,
saya, Eka, Haps dengan diantar Dude dan Heri sampai di Rumah Intaran. Rumah
Intaran memang jauh dari pusat kota besar sekelas Denpasar, empat sampai lima
jam, karena letaknya yang berada di bagian utara Pulau Bali, dekat sekali
dengan Laut Bali. Tepatnya di Jalan Raya Singaraja-Kintamani, Desa Bengkala, Buleleng dekat dengan kota
Singaraja.
Kami disambut
oleh Bapak Gede Kresna dan Ibu Ayu Gayatri juga dua piring pisang rebus, teh jahe,
dan tak lupa setangkai daun intaran yang terdiri dari beberapa lembar daun
mungil. Daun intaran ini kemudian menjadi salah satu teman pagi kami saat sarapan.
Rasanya pahit. Meskipun begitu, setiap hari kami diwajibkan memakannya
selembar. Ya, selembar saja. Pohon intaran disebut juga pohon Soekarno karena kabarnya
Bapak Soekarno pernah berjasa dalam menghijaukan Padang Arafah. Di Jawa sendiri
intaran dikenal dengan nama pohon imba atau nimba.
Ada seorang
teman bertanya, “Mengapa kami diwajibkan memakannya selembar sehari?” Tentu
tidak lain salah satunya adalah karena kandungannya yang bermanfaat bagi tubuh.
Di saat banyak bertebaran produk medis yang kian populer, daun intaran yang
dapat dipetik di kebun sendiri mampu mendukung sistem imun tubuh secara alami.
Menukil dari “Paspor Rumah Intaran” kami, pohon intaran tergolong pohon evergreen yang tidak mengenal musim
dengan produksi oksigen yang baik. Kandungan nitrogen pada daunnya menjadikan
daun intaran bagus untuk pupuk. Intaran juga merupakan pemecah angin dengan
struktur akar menghunjam dalam, batang yang kuat namun lentur, serta daun yang
kecil. Tak ketinggalan, biji daun intaran juga dapat menjadi pestisida alami.
Dari sebatang
pohon intaran, rasanya yang pahit, menjadi pengingat akan manisnya kekayaan
alam lokal. Di saat produk-produk impor marak merajai perniagaan, para
pendahulu ternyata telah terlebih dahulu menemukan “teknologi” sederhana dari
bumi sendiri. Tidakkah leluhur ini sungguh arif menghargai apa yang tanah
mereka hasilkan. Mereka berpikir jangka panjang, mengolah apa yang ada tanpa
berusaha mencederai alam dan tubuh sendiri.
Di Rumah
Intaran, tumbuh banyak pohon intaran termasuk di samping paviliun kami. Beberapa
tunas intaran juga dibudidayakan di Rumah Intaran. Ketika kemarin kami mencoba
mencari biji-biji pohon intaran hampir semua biji yang jatuh telah kosong,
kulitnya robek dan isinya kemungkinan telah dimakan burung. Memang setiap saat
burung-burung kerap beterbangan di sela rimbunnya pepohonan sekitar Rumah Intaran lantas menyanyikan senandung permulaan hari.
---
Malam itu kami bertiga menerima paspor untuk memasuki bumi Rumah Intaran, pada lembar awalnya tertulis:
Paspor ini digunakan untuk memasuki luasnya samudera ilmu pengetahuan yang maha tak terbatas. Menyelami kedalamannya dan memetik saripati yang berguna untuk mengarungi kehidupan.
Sebagai buku catatan atas begitu banyaknya keindahan yang akan disimpan dalam ingatan-ingatan kita nanti. Sebagai jawaban-jawaban kecil atas begitu banyak persoalan akan mendewasakan diri kita di kemudian hari.
Selamat datang di desa.
Selamat datang di Rumah Intaran
paspor dan buku catatan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar