Minggu, 09 Oktober 2011

Hidup Cukup?

Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan salah satu dosen arsitektur yang sudah bertitel doktor. Niat ingin memperbincangkan proposal tugas akhir saya namun pembicaraan akhirnya meluber kemana-mana. Yeah, ini adalah ciri khas dosen satu ini. Terjadilah kuliah tambahan yang bahkan tidak ada di kurikulum manapun. :D

Bermula dari poin permasalahan dan persoalan pada bab satu konsep. Kesalahan fatal yang turun temurun telah terjadi. Permasalahan tidak sejalan dengan tujuan, persoalan tidak seiring dengan sasaran. Kata kerja dan kata benda, kata tanya dan kata berita memunculkan jawaban yang jauh berbeda. :D Dan tiba-tiba saya baru menyadari itu. Kami tersenyum lebar.

Apabila niat dan tujuan tidak sejalan atau seiring maka hasilnya pasti akan mengikuti niat. Kalau niat saja sudah salah, bagaimana dengan hasilnya? Inilah tema pembicaraan selanjutnya, yang tidak berkurikulum itu. Contoh seorang politisi yang berjanji akan mensejahterakan rakyat tetapi dalam upaya menarik simpati menggunakan politik uang, maka tentu saja tujuannya menjadi politisi adalah uang. Pasti! Sudah begitu, setelah berada di posisi mentereng, masih saja rakus (itu sudah bahasa yang halus, menurut beliau) :)

Sebenarnya hidup itu hanya memilih kok. Mau jadi pelacur atau pendeta? Pelacur dalam segi materi tidak akan kekurangan tetapi dari segi batin ia sangat miskin. Itulah sebabnya mereka tidak pernah puas, karena kemiskinan batin itulah. Sekarang tengok pendeta (pendeta dalam agama apa saja), mau bagaimanapun keadaannya ia selalu merasa cukup. Kenapa? Karena mereka senantiasa bersyukur. Mau kecil, mau besar, cukup. Mereka bahagia dengan kecukupan itu. Mereka kaya secara batiniah.

Begitu juga bila kamu mencintai seseorang karena kekayaan atau ketampanannya. Itu juga yang akan kau dapatkan. Ketika kekayaan dan ketampanan itu telah hilang, pupus pula cintamu kepadanya, karena tujuanmu adalah kaya dan tampan. Jangan salahkan si tampan jika dia tidak bisa memberikanmu nafkah kelak, jika cintamu karena tampannya.Cinta itu karena semurni-murninya cinta, karena agamanya, itu sudah cukup membuatmu akan bahagia.

Terlontar sebuah anekdot. Menguap itu nikmat. Menggeliat itu nikmat. Tetapi apabila terus-menerus seperti itu berhari-hari, apakah itu nikmat? Sederhana! Menguap dan menggeliat itu hanyalah persoalan sederhana, tetapi mungkin memang jarang yang mensyukurinya. Begitu pula dengan nikmat nafas dan detak jantung. Begitu pula dengan ruh yang ada dalam jiwa dan raga ini. 

Bersyukurlah dari hal-hal yang sederhana. Banyak hal sederhana yang terlalu sering dilupakan. :)

Alhamdulillahi rabbil 'alamin...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar