Senin, 14 Oktober 2013

1:10

pegunungan di kejauhan sana
Siang itu aku tak menyadari bahwa semua pelaksana dan penanggungjawab proyek di lapangan muncul di kantor, sampai salah seorang dari mereka memanggilku untuk turut masuk ke dalam ruang komisaris dan direktur. Muncul tanda tanya dalam benakku, “Ada apa?”

“Ikut rapat,” katanya.
“Kamu cewek sendiri di dalam tuh,” sahut teman sebelah desk-ku.
Sembari berdiri dan mempersiapkan notes, aku menyeloroh, “Sudah biasa.”

Benar saja, di dalam sudah duduk tenang, komisaris utama, manager produksi, manager logistik, dua pelaksana, dan dua asisten pelaksana. Menyusul dua perencana yang masuk bersama denganku. Semuanya laki-laki, kecuali aku tentu saja. Menjadi minoritas diantara para kaum adam kini seakan menjadi rutinitas. Bukan saja mengenai job-desk di kantor, tetapi saat tiba waktunya terjun meninjau kondisi lapangan, aku pun harus menyesuaikan diri. Sewajarnya tentu saja. Tidak boleh manja, harus tahan dengan teriknya lapangan dan elevasi tanah yang naik turun, serta rumput-rumput liar yang masih tumbuh. Di lapangan yang lain, aku pun harus berdamai dengan debu. Rela saat keluar dari lapangan mengetahui sepatu sudah lusuh penuh debu tebal menempel. Juga tentang ritme makan, nah aku tahu kalau laki-laki itu makannya super-cepat. Dan aku super-sebaliknya!

Seringkali menyeruak pemikiran, apakah suatu saat nanti aku bisa-bisa jadi tomboy?

Terpikir perkara ini, aku jadi teringat waktu yang telah jauh di belakang. Saat rumah berproses merubah warna wajah. Aku memilih bergumul dengan cat dan kuas daripada piring gelas dan dapur. Alhasil ketika sewajarnya bapak yang memegang kuas dan menenteng ramuan cat; dan aku yang menggenggam spons cuci dan mengusap piring gelas, yang terjadi justru sebaliknya. Sampai aku lelah karena tinggiku belum mencapai dinding paling atas. Di lain waktu, begitu aku masuk teknik, bapak memanggilku untuk membantu memperbaiki engsel pintu yang jebol. “Kenapa bukan adik (yang laki-laki)?” protesku.

“Kan yang masuk teknik kamu,” sahut adikku.

Nah, ini nih. Dan bukan ini saja. Mungkin, aku paling tidak suka jika kemampuanku disangkut-pautkan dengan beberapa hal yang bersangkutan denganku. Sejak meniti bangku kuliah, mulai di permulaan, debutku seakan menjadi buah simalakama bagiku sendiri. Karena aku teknik maka akulah... Karena aku masuk X seharusnya aku Y. Karena aku pernah terlibat A maka sewajarnya aku B. Karena aku pernah di C maka aku semestinya mengerti D.  Right, itu benar. Tetapi ketika aku masuk A dan menemui C, aku belum tentu nyaman dengan lingkungan itu. Lalu aku tak akan bisa jadi B atau D. Bukan tak akan, tapi belum akan.

Aku yakin, aku bisa melakukannya jika saja aku mau. Tetapi aku memiliki pilihan-pilihan tersendiri atas apa yang kulakukan.

“...and if something proves of interest to you, you will not rest until you acquire a profound knowledge of this area.”

Akhirnya, itu berlaku buatku. Saat aku menggemari sesuatu, tanpa sadar itu sudah ter-set dalam keinginanku. Kartupos, kartupos, kartupos. Knitting, knitting, knitting.

And now: design, design, design. Seakan tiada hari tanpa menyapa .dwg, .skp, .max, .png, atau .jpg. Cuma waktu yang berbicara dan takdir yang menjawab ketika semua yang dulu kuhindari kini jadi pergumulanku sehari-hari. Dan ketika semua yang dulu jadi pergumulanku sehari-hari kini perlahan tertelan ...

2 komentar:

  1. I just got a similar experience like yours :))
    beberapa hal yg dulu sangat aku hindari, sekarang (dengan terpaksa) harus dijalani, hal2 yg dulu sering aku lakukan juga harus diminimalisir untuk sementara, hmmm mungkin ini proses belajar ya namanya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. bukan terpaksa, melainkan perjalanan. it's just about moment/time matter menurutku. kenapa dulu kita tidak melakukan itu, justru hal lain yang dilakukan, itu juga moment matter. sepakat, ini proses belajar. we knew this and that jadinya kan? tsaaah...(gaya endah: on)

      Hapus