Selasa, 29 Oktober 2013

Lesehan Sayidan

Bantaran Sayidan
Rata-rata bantaran sungai di kota-kota besar Indonesia identik dengan pemukiman yang rapat hingga tak menyisakan sepetak ruang publik bagi masyarakatnya. Apalagi apabila melihat kota sekaliber Jakarta dengan sungai-sungai yang mengalir di mukanya. Pemerintah daerah pun sewajarnya  tak tinggal diam atas persoalan seperti ini. Bukan saja untuk menghindari resiko banjir ketika volume air naik di musim penghujan, melainkan juga upaya untuk mempercantik wajah kota (city beautification).

Dahulu, sewaktu masih menjadi penumpang kereta komuter Solo-Jogja dan sebaliknya, seorang bapak yang duduk di depan saya terlihat kagum seraya berujar, “Jogja itu tata kotanya bagus.” Saat itu kereta sedang melintas di atas Kali Code, dan dari tempat kami duduk terlihat komposisi jalan yang memutar dengan air mancur dan pergola, kontras dengan padatnya pemukiman di tepian Code. Solo pun melakukan hal serupa melalui walikotanya saat itu, Joko Widodo, yang kini menjabat Gubernur Jakarta. Taman Tirtonadi dan Taman Sekartaji merupakan dua contoh revitalisasi kawasan tepian sungai. Sayangnya terakhir kali saya ke sana, Taman Sekartaji bahkan sudah mangkrak dan taman mulai gersang. Rupanya mungkin ruang publik serupa taman kota bukan kebutuhan primer bagi warga.
Salah satu sudut bantaran.
Namun saya menemui penyelesaian yang cukup brilian kemarin sore (27/10). Selepas meet up dengan teman-teman kuliah di Vredeburg Fair,  kawasan cagar budaya Benteng Vredeburg, kami melanjutkan perjalanan dengan berwisata kuliner di Lesehan Sayidan, masih merupakan tepian Kali Code. Yaitu tepat di bawah sculpture Jembatan Sayidan. Lantai paving berlapis tikar atau tanggul sungai yang terdesain serupa tempat duduk. Ditambah tatanan meja-meja kecil dan atap asbes, saya terbawa ketakjuban tersendiri. Beberapa pohon tetap dibiarkan tumbuh sedang angin mengalir lepas dari arah sungai. WiFi kualitas excellent dan “restoran” buka nonstop 24 jam.

Berulang kali saya menyambangi bibir sungai yang hanya berjarak tak lebih dua meter dari meja kami. Seperti orang heran, saya mengamati pemandangan di sekitarnya. Jika jeli, sebenarnya sajian visual  yang saya terima sangat khas urban. Jajaran jemuran pakaian yang melambai di sana-sini. Antena televisi yang menjulur di sana-sini. Juga elevasi atap yang tak rapi. Tapi sungai yang cukup bening dan mengalir deras benar-benar menggugah selera. Saya tidak bisa mendeskripsikan bagaimana saya langsung menyukai tempat ini; tentu masih banyak restoran dengan sajian istimewa dan tata ruang yang jauh lebih elegan. Tetapi tempat ini sangat merakyat menurut saya.

UPPKS Lumintu I. Dinding tanggul jalan berpola ala jerapah yang menjadi sandaran saya mencantumkan aksara-aksara tersebut. Lalu saya mengaitkan dengan poin tempat ini bukan milik individu melainkan usaha bersama masyarakat kampung di situ. Berarti warga kampung ini telah mempunyai pemikiran yang lebih maju. Setidaknya di tengah kepadatan kota, masih tersedia ruang komunal tidak hanya bagi warga tetapi juga publik. Patut menjadi proyek percontohan untuk penyelesaian desain kawasan bantaran sungai yang sederhana tapi bernilai.
Deliciouso.
Sayang sekali. Ya, jujur saya menyayangkan bahwa saya ketinggalan mengenai hal ini. Beberapa bulan lalu saya sempat meriset cepat mengenai Kali Code dan pemukiman di sana sebagai materi sebuah majalah arsitektur (Ruang Arsitektur Free Magz). Riset jarak jauh yang saya lakukan karena saat itu masih berdomisili di Jakarta. Dan titik penting ini luput bahkan tak tersentuh sama sekali dari pencarian saya. Padahal saya telah mengambil kesimpulan dengan merangkum uraian Romo Mangun, arsitek sosial Kawasan Code Gondolayu, yaitu bahwa masyarakat bantaran Code dengan berbagai latar belakang yang menyertainya tidak mungkin digusur. Penggusuran hanya akan menimbulkan masalah baru: munculnya pemukiman liar. Sehingga alternatif solusi yang dapat dilakukan adalah memberdayakan setidaknya untuk meningkatkan taraf hidup. Seperti misalnya dengan kemunculan Lesehan Sayidan.

2 komentar:

  1. enak banget kayaknya suasananya ya, apalagi kalo sama temen2 :) kapan2 kalau ke yogya lagi pengen nyoba ke sana ah, menikmati "restorannya" :D

    BalasHapus