Sabtu, 15 November 2014

[4] Surabaya: House of Sampoerna Melewati Kalisosok


Ketika meniatkan diri menginjakkan kaki di kota lain, teramat sayang jika melewatkan waktu berlalu begitu saja. Begitu juga saat aku sampai di Jembatan Merah dan Fa masih di dalam perjalanan. Aku memutuskan untuk mengitari taman di depan Jembatan Merah Plaza. Taman Jayengrono namanya. Taman itu cukup sejuk di tengah udara sepenggalah matahari Surabaya yang mulai memanas. Pada beberapa titik terdapat air mancur yang memuntahkan air yang sebentar-sebentar memercik.



Where is the red bridge?” Pertanyaan itu sebenarnya masih menggaung semenjak aku diturunkan dari angkot tadi. Tidak lain karena sedari tadi aku sama sekali tidak melihat jembatan berwarna merah. Setelah aku menembus bagian depan Jayengrono, barulah terlihat sebuah jembatan dengan cat merah. Konon, di jembatan inilah Brigjen Mallaby tewas. Pertempuran berdarah inilah asal usul penamaan Jembatan Merah. Dalam versi yang lain, jembatan ini bernama seperti itu karena memang sudah dicat warna merah sejak pertama kali dibuat.


Setelah puas menengok Jembatan Merah, aku pun kembali ke Jayengrono. Tidak lama kemudian, Fa datang dari ujung kanan taman. Surprise! Akhirnya kami bertemu. Aku membayangkan semoga suatu saat, kami akan datang dari Inggris dan Jerman, lalu memutuskan bertemu di Perancis. Aamiin.

Segera kami melanjutkan berjalan, mengejar tur pertama Surabaya Heritage Track yang diinisiasi House of Sampoerna. Dalam langkah-langkah kami menuju House of Sampoerna, kami melewati bangunan tua yang kompleksnya terkesan luas dengan menara-menara pandang di ujung-ujungnya seperti tipikal penjara pada umumnya. Itulah Penjara Kalisosok. Kalisosok sempat masuk bucket list-ku, tak sengaja sempat juga melintasinya, merasakan ruang-ruang masa lalunya meski hanya dari jalan-jalan di sekitarnya.


Sesampai di House of Sampoerna masih belum banyak orang berlalu-lalang. Syukurlah, baru ada tiga nama dalam daftar peserta tur pagi dengan tiga tempat perhentian, Balai Pemuda, Balaikota Surabaya, dan De Javasche Bank. Namun dikarenakan hari itu adalah hari tahun baru Islam, Balaikota Surabaya tidak dapat dikunjungi.


Ternyata Surabaya cukup banyak memiliki sociteit, beberapa kali pemandu tur menjelaskan bahwa gedung ini dan itu dulunya adalah sociteit. Sociteit adalah tempat untuk berpesta sembari berdansa para noni dan meneer di jaman pendudukan Belanda. Diantaranya De Simpangsche Sociteit yang kini menjadi Balai Pemuda dan Gedung Internatio yang berwarna merah putih. Surabaya memang kaya bangunan kolonial, berulang kali mendengar pemandu menyebut beberapa tempat dengan penamaannya di masa lalu yang serasa membawaku ke kehidupan pada masa itu.


Selain program tur, terdapat juga Museum House of Sampoerna. Di dalamnya terdapat berbagai macam benda kuno, baik yang berhubungan dengan produksi rokok maupun tidak. Melalui lantai atas, kami dapat melihat ruang proses bagaimana rokok diproduksi. Sayangnya, saat itu hari libur sehingga para pegawai tidak bekerja.

Hari menjelang siang saat kami memutuskan untuk meninggalkan House of Sampoerna. Mau ke mana kita? Makan! Hingga akhirnya dalam perjalanan kembali ke Jembatan Merah kami menemukan Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria di daerah Kepanjen, dekat Kantor Pos Besar Surabaya. Gereja dengan arsitektur neo-gothic ini mengingatkanku pada Gereja Katedral Jakarta yang terletak di seberang Masjid Istiqlal.


Di depan gereja itulah kami melahap lontong balap, makanan khas Surabaya yang kucicipi pertama kali, yang kalau dipikir-pikir mirip juga dengan ketoprak langganan di belakang kampus dulu. Ups, tetap tandas dan licin piringnya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar