Minggu, 30 November 2014

[7] Surabaya:Taman Bungkul, Taman Pelangi Lalu Menuju Pandaan


suatu pertemuan itu bukanlah suatu kebetulan,
pertemuan adalah takdir Tuhan untuk manusia



Hari menjelang sore saat aku dan Fa memutuskan untuk beranjak ke Taman Bungkul. Taman ini akhir-akhir ini mulai tenar setelah walikota Surabaya merevitalisasinya. Terletak tepat di sisi Jalan Taman Bungkul, kawasan tertata ini difasilitasi dengan pathway yang nyaman, juga amphitheatre. Tanaman yang tumbuh pun sangat terjaga, serta bersih dengan beberapa petugas keamanan yang bersiaga.

Saat aku sampai di Taman Bungkul, suasana memang sudah terbilang ramai. Harap maklum, aku datang pada momen Saturday night yang bersekutu dengan hari libur nasional. Pada hari itu juga tengah dihelat Festival Lagu Islam –aku lupa nama acaranya, banyak ibu-ibu dan anak-anak berqasidah dengan rebana di tangan. Bahkan saat aku dan Fa makan pecel semanggi –makanan yang direkomendasikan Mbak Lia dan Mas Dika, teman sekantor Fa, ibu-ibu dengan gamis oranye heboh berlatih. Dengan agak rikuh, kami menikmati pertunjukan “spesial” grup nomor 21 itu.


Sejak aku berjumpa dengan Fa di Jembatan Merah, berbekal rasa penasaran, Fa memang sudah meniatkan diri mencari pecel semanggi. Di Taman Bungkul lah akhirnya kami bertemu penjaja pecel semanggi. Pecel semanggi ini disajikan dalam pincuk daun pisang, sejumput rebusan daun semanggi disiram saus kacang dimakan bersama kerupuk puli. Kerupuk puli ini di Jogja sering disebut dengan legender namun ukurannya agak lebih besar.

Setelah itu kami mengitari lagi kawasan Taman Bungkul. Aku melihat penjual lumpia, sementara Fa berniat membeli kerupuk puli lagi sebagai cemilan. Memang dimana-mana terlihat orang menyantap kerupuk puli ini yang dicocol sambal petis. Lumpia Surabaya ternyata berbeda dengan lumpia di Jogja atau pun Semarang. Lumpia Surabaya dimakan dengan daun bawang tanpa dipotong terlebih dahulu. Batang-batang daun bawang ditaruh begitu saja di atas lumpia untuk digigit sedikit demi sedikit. Aku berdecak dalam hati, so unique!

Sore itu, Ecci mengabarkan kalau dia sedang menghadiri acara besutan Goodreads Surabaya di perpustakaan yang tak jauh dari Taman Bungkul. Aku berencana akan bertemu beberapa teman yang tinggal di Surabaya. Ecci adalah teman kantorku semasa di IAAW Jakarta, dia masuk magang setengah bulan setelah aku resign. Namun begitu sudah beberapa bulan kami kenal di dunia maya. Sore itu akan menjadi pertemuan pertama kami.

Dan memang tak lama kemudian Ecci datang bersama Atiek, sahabat sepuluh tahunnya. Kami pun bernostalgia mengenang masa-masa di Jakarta, tentunya dalam generasi yang berbeda. Suka duka di sana, mengapa resign, mengapa tidak lagi kembali ke sana, bagaimana aktivitas sekarang, dan sebagainya. Kami duduk di amphitheatre hingga adzan maghrib berkumandang. Lalu Ecci mengajak aku dan Fa shalat di perpustakaan yang lantas kami iyakan.

Aku dan Fa berpisah dengan Ecci dan Atiek usai shalat maghrib. Kami kembali ke Taman Bungkul untuk bertemu dengan teman Surabaya lainnya. Sembari menunggu, aku dan Fa sedikit memutari Taman Bungkul lagi. Fa memperlihatkan kepadaku beberapa signage di titik-titik tertentu kawasan itu. Signage yang bukan lagi verbal namun mewujud visual berpendar. Contohnya, untuk memperingatkan, “Dilarang membawa senjata tajam,” ditransformasikan menjadi gambar senjata tajam yang diberi tanda silang.

Selepas itu, kami terduduk saja di tepian jalan raya. Fa membuka “buku cinta” gank kami, buku yang ditulisi oleh masing-masing secara bergiliran. Karena Fa terpisah kota dengan anggota gank lainnya, saat itu adalah kali pertama dia menulisinya. Dan aku? Aku mengamati lalu lalang kendaraan sambil sesekali mereguk air mineral. Udara Surabaya cukup panas, itulah sebabnya aku banyak menghabiskan air minum. Aku yang jarang mengonsumsi es, setibanya di Surabaya pun tidak segan lagi menenggaknya.

“Lagi nungguin siapa, mbak?” tiba-tiba suara seseorang muncul diantara telinga aku dan Fa.

“Mbak Lia!” Sebuah kejutan, karena sore tadi ia mengatakan tidak bisa bersua dengan kami. Dan tahu-tahu hadir begitu saja. Wow! Sementara itu, Mas Dika yang terlebih dulu mengkonfirmasi sedang dalam perjalanan masih belum nampak. Beberapa saat kemudian lah, ia baru muncul di tengah suasana Bungkul yang kian ramai. Tak lama kemudian, kami berempat meluncur ke Taman Pelangi.


Taman Pelangi lebih sepi daripada Taman Bungkul. Pengelolaannya pun belum optimal meski pathway sudah terbentuk. In-out kawasannya masih kabur dengan vegetasi yang nampak “berkeliaran”. Meski begitu taman ini lebih iconic dibandingkan Taman Bungkul. Terdapat point of interest berupa pilar-pilar yang mekar seperti kipas di atas kolam. Pilar-pilar tersebut disorot dengan lampu warna-warni (seharusnya, beberapa lampu padam). Belum nampak pula tempat duduk sehingga kami memutuskan duduk di bibir kolam dan sesekali mengamati pasangan-pasangan manusia.


Hampir tengah malam saat kami beranjak ke Terminal Purabaya, lebih dikenal dengan Terminal Bungurasih. Di pintu masuk kawasan bis antar kota, aku dan Fa berpisah dengan Mbak Lia dan Mas Dika. Aku membuntuti Fa menuju jalur Surabaya-Malang, pukul setengah dua belas malam saat itu. Lima belas menit kemudian, kami sudah terkantuk-kantuk menunggu kedatangan bis. Beberapa calon penumpang sudah khawatir tidak ada bis lantas mencari opsi lain. Kami masih bertahan. Sementara Fa menutup mata, aku bertahan terjaga. Hingga lepas tengah malam dan Fa terbangun, bis yang dimaksud belum juga nampak.

Aku memeluk ransel dan terlelap sampai akhirnya Fa mengguncang tubuhku, berlari. “Kita naik Patas saja!” Maka pukul setengah satu kami mulai turut berdesakan di dalam bis jurusan Malang, menuju pemberhentian kami selanjutnya: Taman Dayu![]

2 komentar:

  1. kalau tidak salah, taman pelangi awalnya memang bukan untuk jalan-jalan, tapi sebagai landmark "selamat datang". karena itu letaknya lumayan dekat dengan perbatasan.

    tapi barangkali karena unik, banyak dipakai orang untuk jalan-jalan, jadinya mulai ditambahkan fasilitas2 pendukung.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Ronny,
      Makasih sudah berkunjung. Jadi begitu ya awal mulanya, referensi baru nih. Tapi nggak ada salahnya juga ya landmark "selamat datang" dijadikan ruang publik setara Taman Bungkul. :)

      Hapus