Pada awalnya, Jakarta bukanlah kota yang kuingini untuk
tinggal atau sekedar bertandang beberapa lama. Meski saya telah beberapa kali
bertandang ke ibukota saat masih bocah, ingatan saya terbatas. Tak banyak yang
saya kenang tentang kota itu di masa lalu selain megahnya Stasiun Gambir,
telunjuk om yang mengacung ke puncak Monas, dan eksterior kubah Istiqlal. Beranjak
dewasa, mini-metropolis itu telah membentuk perspektif pandang saya ke dalam
suatu hal yang sama sekali bukan fatamorgana. Euforia ibukota kian hari kian
lekat dalam percakapan sana sini. Saya angkat tangan, tidak siap dengan
tantangan yang menghadang di depan. Saya memang seharusnya tahu jika saya tak
boleh berkata begitu sebelum saya mencecapnya sendiri.
Bahkan tawaran bekerja di sebuah gedung prestisius di salah
satu kawasan central business district
pun saya abaikan. Sebegitukah Jakarta menjadi momok bagi saya? Beberapa bulan pun akhirnya berlalu hingga
akhirnya saya terdampar di kota hujan, Bogor, selama sebulan. Satu hal yang
membesarkan hati saya saat itu hanyalah: saya memiliki saudara di sana. Dan
dari Bogor lah saya akhirnya mengenal Jakarta lebih dekat. Suatu kali saya
nekat menjumpai seorang kawan yang bahkan tak ada rencana sebelumnya, jujur
sebenarnya demi undangan dadakan untuk mengikuti tapping Mario Teguh selama sehari penuh.
Berbekal panduan jalur perjalanan, maka berangkatlah saya
ke Jakarta pada satu senja akhir pekan. Itulah kali pertama saya mengenal Trans
Pakuan Bellanova-Bogor Kota; mencicip angkot dari kota seribu angkot; dan juga
berdesakan di dalam KRL. Gedung-gedung maha tinggi kemudian akrab menyapa,
berbaur dengan langit kelabu. Bukan langit sendu, namun langit yang berwarna
kelabu. Sebegitu berbedanya warna langit ibukota dengan kota satelitnya, batin
saya saat itu. Kereta komuter itu akhirnya tiba di stasiun besar Tanah Abang,
sempat terpikir apakah saya turun saja di stasiun Sudirman atau Karet yang
tidak begitu jauh dari kontrakan kawan. Tetapi dengan pertimbangan familiarnya rute,
akhirnya saya menuruti saja kata teman. Stasiun Tanah Abang. Period.
Geliat ibukota begitu terasa saat melihat orang-orang
berlarian sana sini demi mengejar jadwal kereta. Ya, setelah bertahun-tahun
saya bergelut dengan moda transportasi ini, saya pun mengakui bahwa kereta
adalah salah satu hal yang mampu mengajarkan kepada penumpang-penumpangnya arti
tepat waktu. Saat hampir terlambat dan kereta bersiap berangkat, selagi pintu
belum tertutup kita masih bisa melompat. Beberapa detik terlambat, kereta mulai
berjalan lambat, maka itulah penyesalan terhebat. Jakarta memberikan sensasi
yang berbeda lagi, berdesak-desakan setidaknya selama satu jam adalah
pemakluman.
Sampai akhirnya kereta tiba di pemberhentian terakhir,
stasiun tujuan saya. Saya tersadar jika saya telah sampai di jantung ibukota,
Jakarta Pusat. Selanjutnya? Saya tidak tahu arah. Sama sekali buta, dan itu tak
terpikirkan sebelumnya. Apa mau dikata, ask
someone who you believe. Meski begitu tetap saja saya salah arah, berulang
kali bertanya. Terkadang saat kau sendiri dan dalam keadaan terpaksa, kau justru
bisa melakukan hal-hal yang tak kau kira terjadi.
Beberapa saat kemudian saya sudah berada di atas angkot, hanya
terdiri dari sopir dan satu penumpang di sampingnya yang menggendong balita. Tanah
Abang, Karet Bivak, Benhil, dan akhirnya sekitar setengah jam kemudian
sampailah saya di depan Kantor PAM lama. Itulah meeting
point yang kami sepakati. Sementara itu dari sudut jalan yang berlawanan,
tampak berjalanlah salah satu kawan karib saya selama kuliah. Setelah
kulambaikan sebelah tangan, akhirnya berlarilah kami saling menjumpai satu sama
lain, berlari bombay.
Dan hug! Tak
peduli orang yang berlalu lalang di sekitar kami. Yang saya pikirkan hanyalah saya
telah menaklukkan perjalanan solo pertama saya ke Jakarta dan menjumpai kawan
yang sudah lama tak bersua. Saya telah menyelesaikan tantangan yang saya
tentukan sendiri, saya buat sendiri, dan saya lampaui sendiri. Ya, akhirnya, “Halo
Jakarta!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar