Berbicara mengenai transportasi dan jalanan ibukota
mestinya menjadi persoalan yang sangat serius. Tak dapat dielakkan bahwa
permasalahan moda transportasi sudah masyhur ke segala penjuru. Bahkan konon
Jakarta dinobatkan sebagai kota ketiga di dunia dengan tingkat keruwetan yang
sangat tinggi.
Jika di kampung halaman, jalanan selebar tiga meter cukup
menjadi jalur alternatif yang sangat lengang. Maka di ibukota jalanan tersebut
bisa menjadi jalan utama yang padat merayap. Bahkan mayoritas ruas jalan sudah
tidak menyisakan ruang bagi pejalan kaki. Sepeda motor yang sangat lincah dan
gesit menyalip kendaraan roda empat pun turut memanfaatkan trotoar. Belum lagi
ruas-ruas jalan yang lebih parah, tidak memberikan trotoar. Alih-alih justru
badan jalan langsung berbatasan dengan saluran air yang bisa dibayangkan
warnanya: cokelat kehitaman. Dan sayangnya itulah yang terjadi di lingkungan
tempat tinggal saya.
Memilih moda transportasi umum sebagai alternatif tentu
saja bukan pilihan yang buruk. Namun bukannya tanpa kekurangan, stok kesabaran
harus ekstra. Jarak dekat dapat tertempuh dalam waktu yang berlipat dari
estimasi pada waktu-waktu tertentu, utamanya pagi dan petang. Apalagi saat
Sabtu malam yang populer dengan istilah Satnite
–Saturday night. Sabtu malam rentan
dengan padatnya kendaraan, paling parah saat kendaraan tidak dapat bergerak
sedikit pun selama beberapa menit.
Apabila sudah seperti itu, perlu strategi tersendiri
untuk menghindari kebosanan di dalam angkutan umum. Entah mendengarkan musik,
berselancar di dunia maya, sekadar chit-chat
dengan kawan-kawan, atau melongok ke luar jendela dan cukup menikmati saja
perjalanan itu. Namun yang wajib diperhatikan kala menggunakan piranti teknologi
di ruang publik, harus disertai kehati-hatian yang ekstra pula. Meski belum
pernah mengalami sendiri, berita-berita negatif yang berseliweran melalui
berbagai media sudah cukup menjadi bekal.
Hari-hari awal di ibukota saya memilih untuk bepergian ke
kantor on foot, jalan kaki. Jarak ke
kantor tidak terlalu jauh, lima belas menit berjalan kaki. Lumayan juga untuk
sekedar berolahraga, sambil menyelam minum air. Nikmatnya tentu saja lebih
menghemat pengeluaran harian. Dengan berkorban jalan kaki? Tidak. Berjalan kaki
pada akhirnya menjadi suatu hal yang menyenangkan bagi saya. Hidup seorang diri
membuat saya merasa tak perlu mengasihani diri sendiri secara berlebihan. Tak
perlu merengek kehausan, jika saya masih bisa mendapatkan air minum. Tak perlu melonjak
kelelahan, jika saya nantinya akan menemukan tempat duduk.
Tapi, ya tentunya masih ada tetapi. Tetapi polusi udara
Jakarta begitu buruk. Tetapi harus berhati-hati berbaur dengan padatnya
berbagai macam kendaraan yang lain. Tetapi udara panas dan tidak ada
pohon-pohon perindang. Tetapi harus waspada dengan berbagai hal yang mungkin
akan terjadi. –Tetapi hal itu tidak bisa memupus niat saya untuk tetap berjalan
kaki. Hehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar