Jakarta dengan segala kerumitannya kembali menarik saya
untuk melaju bersama putaran masanya. Beberapa bulan pasca pulang dari kegiatan
di Bogor, Jakarta kembali memanggil saya. Saya kembali ke Jakarta, saya akan
tinggal di sana. Entah akan berapa lama. Seperti kebanyakan manusia di seantero
negeri pertiwi ini, Jakarta menjadi salah satu tempat untuk mengadu nasib dan
mempertaruhkan masa depan. Dan saya akan mencobanya, to work in the capital city.
Sebelum berangkat, ibu sempat meyakinkan saya apakah
benar saya sungguh-sungguh akan berangkat ke Jakarta? Apakah yakin berani
berangkat seorang diri? Saya tak tahu sebenarnya seperti apa perasaan ibu saat
itu. Mungkinkah beliau merasa berat melepas saya pergi sedikit lebih jauh lagi
dari kota-kota yang sempat saya rantaui? Bukan sedikit lebih jauh mungkin
masalahnya, melainkan Jakarta dengan segala bentuk citranya. Beberapa ibu yang
di kemudian hari saya temui, mengungkapkan, “Ya, bagaimana kalau jauh sama
anak, pikirannya jadi kemana-mana.” Tetapi pakaian saya sudah rapi dikemas, dan
saya bersiap berangkat.
Perjalanan ke barat melalui jalan darat non rel rasanya
sudah tidak asing lagi bagi saya. Meski tak ingat alurnya secara pasti, namun
saya tak asing lagi dengan jalan-jalan yang harus saya lalui. Jalur di Kebumen
yang berkerikil dan berlubang-lubang atau liukan-liukan medan kala mendaki
perbukitan demi perbukitan di Garut. Itu bila melalui jalur selatan Pulau Jawa.
Berbeda halnya dengan jalur utara, aroma udaranya kental dengan laut, terasa
asin. Pertautan kedua jalur akan terjumpai pasca melalui tepian Bandung atau Sumedang,
dan memasuki pintu tol Cikampek-Jakarta. Nuansa ibukota mulai terasa.
Keberangkatan kembali ke Jakarta ini, saya memilih moda
transportasi travel. Yeah cause I am traveller? Alasan
terbesar saya sebenarnya karena lebih praktis, sopir akan mengantar penumpang
hingga ke depan pintu apalagi tujuan saya lumayan jauh dari stasiun besar.
Jadi, tak perlu lagi repot-repot menjinjing tas superb kesana kemari serta bergonta-ganti angkutan. Selain itu,
lampu yang dimatikan dan kuota penumpang yang terbatas menjadi opsi
selanjutnya. Bisa lebih leluasa menutup mata. Tidak seperti kereta api dengan
lampu yang senantiasa menyala. Well,
saya juga kurang suka jika kemudian ada kebijakan lampu kereta dimatikan.
Terlalu riskan dengan skala badan gerbong yang besar.
Apabila ada kelebihannya tentu ada kekurangannya.
Kendaraan travel ini akan berulang berhenti, paling tidak sebanyak tiga kali.
Sekitar pukul delapan malam, tengah malam, dan pukul lima pagi. Belum lagi,
kalau terjebak jalanan yang macet. Entah macet karena volume kendaraan tak
sebanding dengan jalan raya yang disediakan atau pun terjadinya kecelakaan lalu
lintas. Selain itu, prinsip travel adalah menjemput dan mengantar penumpang sampai
depan pintu. Oleh karenanya harus ekstra sabar sampai sopir menyelesaikan tugas
penjemputan dan kursi penuh dan kemudian menunggu antrian pengantaran. Tak
jarang sampai tujuan ketika matahari sudah sepenggalah naik.
Tujuan di Jakarta Timur biasanya akan diantarkan paling
awal. Sementara itu, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan akan dikoordinasikan
dengan sopir yang lain. Biasanya sopir akan membagi penumpangnya sesuai tujuan
yang searah. Pasrah, tujuan saya adalah Jakarta Selatan sedikit keluar batas
administrasi kota. Diantarkan hampir terakhir, dan terkena charge lagi, dan itu sudah wajar.
Menjumpai Jakarta di pagi hari adalah suatu ketakjuban
tersendiri. Berbaur dengan kemacetannya yang sudah menjadi makanan sehari-hari.
Menghirup udaranya yang sudah terkontaminasi polusi. Dan menatap langit
siangnya yang tak lagi biru sebiru-birunya. Satu hal yang kemudian saya
rindukan adalah bahwa saya tak bisa lagi menatap bintang-bintang di kala malam
menjelang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar