Kawan, hari ini Dinda telah berjanji akan mengajakku berkunjung ke
rumahnya, rumah ayah bundanya lebih tepatnya. Kami telah menyepakati untuk
bertemu di bawah jajaran pokok-pokok pohon randu. Dan di situlah aku berada
saat ini. Menunggunya.
Beruntung tak lama kemudian sosok gadis kecil itu muncul dari
tikungan jalan. Kepalanya samar terlihat menyembul di balik pucuk-pucuk
ilalang. Langkah kakinya naik turun, membuatnya terlihat begitu lucu. Begitu
aku melambaikan tangan padanya, sontak ia segera berlari. Larinya tak cepat. Ia
pernah mengadu padaku jika ia selalu kalah kalau ada perlombaan lari di sekolah
atau saat perayaan tujuh belas Agustus-an. Karenanya ia sangat tidak suka
pelajaran olahraga. Prestasinya selalu lemah di sana.
Senyum simpulnya tiba-tiba saja sudah hadir di depan mukaku.
Tangan mungilnya segera menarik tanganku, menggenggamnya, lalu menarikku
berdiri. Kami berjalan pelan bersisian ditemani hangatnya mentari. Ia terdiam
tak bicara. Hanya langkah kakinya yang menjadi penunjuk arah ke mana aku harus
turut menjangkah. Dan genggaman tangannya tak surut, Dinda justru semakin erat
menggenggam tanganku. Seolah bocah kecil itu takut jikalau tiba-tiba aku
melepaskan genggaman dan berlari meninggalkannya. Sejenak kemudian sebelah
tangannya menunjuk pada satu arah. Tampak cerukan tak berpagar di sisi jalan
depan sana. Pohon-pohon lebat mengelilinginya, melinjo, pisang, belimbing, dan
aku berdebar saat melihat kamboja di sana. Bulu kudukku berdiri, sedikit
gemetar. Dinda kian cepat melangkah, tak gentar. Kian bergegas dan sedikit
berlari.
Di balik cerukan itu, bangunan tua berdiri. Berdinding anyaman
bambu yang dilipit di antara tiang-tiang kayu yang berpijak pada umpak batu.
Bagian depan rumah semuanya dihiasi daun-daun pintu yang jika semuanya dibuka,
satu sisi rumah akan hilang. Lantainya terbuat dari semen kasar yang sudah
kecokelatan karena lamanya usia. Sebagian lantai bahkan masih berupa tanah yang
telah memadat berwarna kehitaman. Namun penglihatanku tak luput dari ukiran sederhana
penyangga atap. Di beberapa bagian nampak untaian aksara yang entah apa
artinya.
“Di sinilah aku tinggal, bersama ayah, bunda, adik, dan Kitty.”
Dinda sumringah di sampingku sudah dengan Kitty kesayangannya yang
tak bosan ia ceritakan. Sepertinya hanya itulah mainan satu-satunya selain
balok-balok susun hadiah dari pamannya yang bekerja di ibukota. Kalau begitu, lalu
wayang-wayang daun nangkanya itu adalah benar-benar sepenggal kreativitasnya
dalam keterbatasan, batinku.
Aku mendadak kelu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar