Apa jadinya ketika tiba-tiba kita mendapatkan warisan yang
rupanya jauh berbeda dengan ekspetasi kita pribadi dan kemudian tak bisa
dikompromikan dengan profesi kita? Tiba-tiba saja pertanyaan itu menggeliat
muncul ke permukaan otak. Hasilnya, mengingatkanku pada Madre-nya Dee yang
berkisah mengenai sosok Tansen, seorang blogger
dan peselancar di Bali yang menyenangi kebebasan hidup. Ia dipanggil ke Jakarta
untuk menerima warisan berupa biang roti berusia puluhan tahun dari orang yang
tidak pernah dikenalnya. Peselancar dan roti adalah hal yang sangat bertolak
belakang bukan?
“Ini tempat duduk, meja, dan komputer kamu nanti ya,” kurang
lebih begitu yang diucapkan manajer tim perencanaan dan perancangan yang juga
seniorku di kantor awal pekan kemarin
Sebelumnya, ia telah memperkenalkanku juga kepada teman di
meja sebelah kananku yang belum pernah berganti. Namanya Pak Oding, yang
menjabat kepala bagian alias salah satu manajer juga. Sementara di meja sebelah
kiriku belum ada penghuni tetap, konon masih dicari. Jadilah silih berganti
orang yang singgah di situ.
Kerap kali aku melirik ke komputer beliau jika tengah penat.
Seringnya mendapati tabel-tabel berjajajar rapi dengan barisan angka-angka
bersarang di tiap kotaknya. Tapi beberapa kali kulihatnya membuka dokumen
berisi garis yang membentuk bidang, dan berikutnya bidang yang membentuk ruang.
Bilah-bilah pekerjaan yang sangat akrab dengan apa yang kuhadapi setiap hari.
“Itu bikin sendiri, Pak?” tanyaku iseng.
“Iya, untuk hiburan Mbak. Dulu saya belajar seperti ini dari
Mas Endro, kalau Mas Endro sedang luang, saya sedikit-sedikit minta diajarin.
Ya senang juga ketika akhirnya bisa bikin kusen atau kursi pakai ini,” katanya
sumringah. Mas Endro adalah mantan seniorku yang telah keluar dan kini
kugantikan memegang komputernya. Dari sedikit percakapan harian atas kata yang
tak pernah bosan beliau ucapkan, “Belajar ini lah, kita harus kreatif sekarang,
di kantor begini, nanti di rumah juga harus ada hal yang dilakukan.” Mungkin
kata-kata tersebut pula yang menjadi salah satu mood-booster-ku kembali menulis di ruang ini. Dan mungkin suatu
saat nanti saya juga musti belajar menata angka dan dokumen dari sosok Pak
Oding ya?
Dari beliau pula akhirnya aku menemukankembali terminologi
yang sempat lama mengendap di dasar pikiran.
Long life learning. Belajar sepanjang hayat, belajar tidak mengenal usia,
belajar dari ayunan sampai liang lahat, atau belajar hingga ke negeri Cina.
Tidak ada kata terlambat untuk belajar, dari siapapun dan dari manapun. Itu
pula yang tempo hari sedikit disinggung dalam kajian pekanan di lobi kantor.
Kata ustadz, belajar itu tidak hanya harus dengan niat. Tetapi juga harus titḕn,
telatḕn, dan opḕn.
Titḕn
merujuk pada definisi bahwa sebagai pembelajar harus teliti memunguti hal-hal
yang kecil dan sering diabaikan orang. Telatḕn dapat diterjemahkan dengan rajin
dan tidak pernah bosan, juga tidak mudah menyerah. Sementara itu opḕn
berarti mampu merawat hal-hal kecil yang telah dikumpulkan sedikit demi sedikit
dengan semangat berlebih.
Lain waktu saat aku merasa kesulitan dengan suatu hal yang
belum mampu kupecahkan dan tim juga belum menemukan solusi selain
tebakan-tebakan mungkin ini-itu, akhirnya solusi yang muncul adalah, “Coba
bertanya kepada teman-temanmu di ibukota itu. Mereka seharusnya punya
jawabannya.” And it works. Belajar
tidak memerlukan sekat ruang dan waktu ketika tiba pada titik aku bisa belajar
jarak jauh dengan teman-teman yang terpisah ratusan kilometer.
Kembali kepada Madre, warisan dan profesi mungkin akan menjadi
dua bagian yang sulit berkorelasi. Tetapi bila mengenal leluhur dan mencermati
silsilah, tebakan-tebakan itu bisa jadi akan muncul dan mulai bisa
mengira-ngira apa yang akan diperbuat dengan hal itu kelak. Lalu apa yang akan
dilakukan dengan dua sisi yang tidak bertalian itu? Jawabannya mungkin hanya
dua: mulai mempelajari hal itu sedari awal atau mencoba mencari-cari cara untuk
membuat simpul.