pegunungan di kejauhan sana |
Siang itu aku tak menyadari bahwa semua pelaksana dan
penanggungjawab proyek di lapangan muncul di kantor, sampai salah seorang dari
mereka memanggilku untuk turut masuk ke dalam ruang komisaris dan direktur.
Muncul tanda tanya dalam benakku, “Ada apa?”
“Ikut rapat,” katanya.
“Kamu cewek sendiri di dalam tuh,” sahut teman sebelah desk-ku.
Sembari berdiri dan mempersiapkan notes, aku menyeloroh, “Sudah
biasa.”
Benar saja, di dalam sudah duduk tenang, komisaris utama,
manager produksi, manager logistik, dua pelaksana, dan dua asisten pelaksana.
Menyusul dua perencana yang masuk bersama denganku. Semuanya laki-laki, kecuali
aku tentu saja. Menjadi minoritas diantara para kaum adam kini seakan menjadi
rutinitas. Bukan saja mengenai job-desk di
kantor, tetapi saat tiba waktunya terjun meninjau kondisi lapangan, aku pun
harus menyesuaikan diri. Sewajarnya tentu saja. Tidak boleh manja, harus tahan
dengan teriknya lapangan dan elevasi tanah yang naik turun, serta rumput-rumput
liar yang masih tumbuh. Di lapangan yang lain, aku pun harus berdamai dengan
debu. Rela saat keluar dari lapangan mengetahui sepatu sudah lusuh penuh debu tebal
menempel. Juga tentang ritme makan, nah aku tahu kalau laki-laki itu makannya
super-cepat. Dan aku super-sebaliknya!
Seringkali menyeruak pemikiran, apakah suatu saat nanti
aku bisa-bisa jadi tomboy?
Terpikir perkara ini, aku jadi teringat waktu yang telah jauh
di belakang. Saat rumah berproses merubah warna wajah. Aku memilih bergumul
dengan cat dan kuas daripada piring gelas dan dapur. Alhasil ketika sewajarnya
bapak yang memegang kuas dan menenteng ramuan cat; dan aku yang menggenggam
spons cuci dan mengusap piring gelas, yang terjadi justru sebaliknya. Sampai
aku lelah karena tinggiku belum mencapai dinding paling atas. Di lain waktu,
begitu aku masuk teknik, bapak memanggilku untuk membantu memperbaiki engsel
pintu yang jebol. “Kenapa bukan adik (yang laki-laki)?” protesku.
“Kan yang masuk teknik kamu,” sahut adikku.
Nah, ini nih. Dan bukan ini saja. Mungkin, aku paling
tidak suka jika kemampuanku disangkut-pautkan dengan beberapa hal yang
bersangkutan denganku. Sejak meniti bangku kuliah, mulai di permulaan, debutku
seakan menjadi buah simalakama bagiku sendiri. Karena aku teknik maka akulah...
Karena aku masuk X seharusnya aku Y. Karena aku pernah terlibat A maka
sewajarnya aku B. Karena aku pernah di C maka aku semestinya mengerti D. Right,
itu benar. Tetapi ketika aku masuk A dan menemui C, aku belum tentu nyaman
dengan lingkungan itu. Lalu aku tak akan bisa jadi B atau D. Bukan tak akan,
tapi belum akan.
Aku yakin, aku bisa melakukannya jika saja aku mau.
Tetapi aku memiliki pilihan-pilihan tersendiri atas apa yang kulakukan.
“...and if something proves of interest to you, you will not rest until you acquire a profound knowledge of this area.”
Akhirnya, itu berlaku buatku. Saat aku menggemari
sesuatu, tanpa sadar itu sudah ter-set
dalam keinginanku. Kartupos, kartupos, kartupos. Knitting, knitting, knitting.
And now: design,
design, design. Seakan tiada hari tanpa menyapa .dwg, .skp, .max, .png, atau
.jpg. Cuma waktu yang berbicara dan takdir yang menjawab ketika semua yang dulu
kuhindari kini jadi pergumulanku sehari-hari. Dan ketika semua yang dulu jadi
pergumulanku sehari-hari kini perlahan tertelan ...
I just got a similar experience like yours :))
BalasHapusbeberapa hal yg dulu sangat aku hindari, sekarang (dengan terpaksa) harus dijalani, hal2 yg dulu sering aku lakukan juga harus diminimalisir untuk sementara, hmmm mungkin ini proses belajar ya namanya...
bukan terpaksa, melainkan perjalanan. it's just about moment/time matter menurutku. kenapa dulu kita tidak melakukan itu, justru hal lain yang dilakukan, itu juga moment matter. sepakat, ini proses belajar. we knew this and that jadinya kan? tsaaah...(gaya endah: on)
Hapus