"mari berbicara tentang tabu. hal yang tak perlu diumbar. hal yang menjadi rahasia umum. hal yang diperbincangkan diam-diam di belakang ketika jam makan siang.
mari berbicara tentang lembaran-lembaran yang dituhankan: dicari, dipuja, dipersalahkan atas segala hal.
mari berbicara tentang bagaimana idealisme tidak memiliki harga. angka berjajar penyambung hidup itu milik gambar-gambar indah yang kadang hanya ditambal-sulam.
jika yang terbaik adalah yang akan melarat dan tertinggal oleh budak-budak kapitalis, kemanakah keseimbangan logika dan harga diri?
apakah artinya integritas? apakah tak berkesinambungan dengan uang? apakah selalu berlawanan? mengapa keduanya tak bisa rujuk, hanya bisa saling mengunggulkan?
"punya saya materialnya paling mahal, impor dari itali. tentu presentase untuk saya menjadi lebih besar. estetika akan hadir dengan sendirinya, jika kualitas barang berasal dari merk ternama."
"punya saya memanfaatkan genius loci. arsitektur milik semua kalangan. estetika tidak tumbuh dari nilai materil. estetika adalah seni, dan seni lahir dari pemikiran, bukan uang yang dituhankan."
apa artinya HONOR jika idealisme dan integritas, sebagai akar dari budaya, menolak dijadikan komoditas, tapi di sisi lain,
kehidupan perlu diberi makan?"
ditulis oleh rofianisa/vidour untuk IAI: Temu 1000 Arsitek Jakarta
***
Semalam tiba-tiba tercetus sekaligus terngiang sebuah
pertanyaan:
“Ketersediaan budget pemilik proyek (owner) memengaruhi kualitas desain yang dihasilkan kah?”
Belakangan rutinitas kantor menjadi ritual harian. Lalu dua
pelaksana proyek non-kantor mengejar secara bersamaan. Aktivitas kantoran yang
seketika kembali berbalik seperti dua bulanan sebelumnya tak ayal membuatku
cukup gelagapan. Di satu sisi, aku ingin mengkeksplorasi desain sebaik-baiknya.
Tetapi di sisi lain, ada hal-hal yang membuatku gagap bergerak. Terutama
skeptis orang awam mengenai pelaku arsitektur. Pertanyaan di atas akhirnya
berujung di laman salah satu jejaring sosial.
Profesi seperti apakah arsitektur di masyarakat kita?
Sudah lama tema ini menjadi polemik di kalangan arsitek
profesional hingga arsitek pemula. Dan kini ketika aku memulai bergerak di
ranah arsitektur yang sesungguhnya, aku mulai mengerti. Arsitektur bukan
sekedar menarik garis menjadi bidang atau menggabungkan bidang-bidang menjadi
massa sekaligus menyusun massa menjadi desain arsitektur itu sendiri. Di sana
ada seni, di sana ada logika. Ya, arsitektur adalah seni berlogika. Di sana
selayaknya ada penghargaan karena arsitektur adalah pertaruhan kenyamanan dan
keamanan.
Kita harus bisa membuat orang menghargai profesi kita.
Aku mulai berkesah dengan teman-teman seprofesi. Dan pernyataan
itu kembali tercetus ketika bahasan itu kukuak lagi. Kita harus bisa
mengedukasi masyarakat tentang profesi kita sendiri. Pemahaman di awal tentu
lebih baik. Siapapun sebenarnya bisa jadi arsitek. Tukang bangunan pun, ketika
ia telah berkecimpung lama di bidangnya, ia bisa jadi arsitek (jika yang
dimaksud sebagai arsitek hanyalah sekedar “membuat bangunan bisa berdiri”).
Tetapi bukankah di sana ada seni? Dan itulah kenapa ada arsitek?
Eksplorasi desain bermutu tidak cukup dalam waktu
singkat. Pun saat desain itu telah bermutu, jika budgeting tidak siap, tentu akan ada penurunan jenis material hingga
pengurangan volume pekerjaan.
Lalu kemudian desain kita akan jadi biasa saja?
Mengingati perubahan wajah versi dana minim dan kemudahan
pengerjaan, aku jadi teringat komentar dosen pembimbing studio pra-akhir tentang
atap pelana yang membentang panjang sekali. “Apa bedanya bangunan itu dengan
pabrik atau kandang ayam?” seloroh beliau saat itu. Seharusnya dengan segala
keterbatasan yang ada, kita jadi lebih terpicu dan terpacu untuk lebih kreatif,
menghasilkan karya yang “monumental”. Karya arsitektur yang bercita rasa tidak
melulu harus bernilai materi tinggi. Kesederhanaan dan kesahajaan arsitektur
justru menjadi poin plus bagi penghuninya kelak.
Baik, itu kesimpulannya. Tetapi kembali pada penghargaan
terhadap arsiteknya, bagaimana dengan itu? Inilah ulasan yang memang tak
habis-habisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar