Semalam, selepas isya’ ada pesan singkat dari nomor yang
belum kukenal:
Assalamu’alaikum wr. wb.Berhubung akan diadakan Seminar Keislaman SKI FT UNS, kami panitia mengharapkan partisipasi saudara/i untuk menjadi donatur. Untuk info lebih lanjut silakan menghubungi Ana.Syukran, jazakumullah. :)#Panitia SK_SKIFT
Kalimat syahdu yang begitu khas, keteduhan dan
kesahajaan. Ada haru yang menggelegak ketika muncul pesan dari adik-adik
tingkat di almamater kampus. Mereka masih mengingatku, hanya itu yang terlintas
di benak. Generasi berganti, mestinya aku sudah tidak mengenal nama-nama baru
yang melanjutkan perjuangan di organisasi kampus. Ya, sudah lebih dari satu
tahun aku meninggalkan bangku kampus. Kemungkinan aku dan generasi yang
mengabdi kini telah terpaut selisih dua atau tiga tahun di bawahku. Apalagi
usai meninggalkan kampus dan berkelana kesana kemari, aku sama sekali tidak
berkomunikasi dengan mereka.
Kampus telah menorehkan sejarah panjang dan dalam di
lembaran kisah hidupku. Siangnya sebelum kuterima pesan itu, aku sempat melihat
postingan foto di Instagram kawan seangkatan. Foto itu menangkap fasad depan
gedung rektorat, tempat dimana kami diterima menjadi mahasiswa dan tempat dimana
kami dilepas setelah tuntas masa belajar. Tempat dimana kami mulai menimba
segala macam ilmu dan menemukan jalan-jalan menuju tujuan kami selanjutnya.
“Kapanpun kalian merasa rindu, pulanglah kemari. Di sini jugalah rumah kalian.”
Kurang lebih seperti itu kalimat yang menyertai foto
rektorat. Aku tahu betul, kalimat itu dilontarkan oleh salah seorang dosen yang
mengajar kami di tingkat akhir masa perkuliahan.
Sebelumnya, di “sesi” pertama, tiba-tiba seorang adik
tingkat selisih tiga tahun di bawahku, mengirim pesan lewat layanan obrolan.
Kamu bercerita bahwa kini kamu tengah menjalani tugas Kerja Praktik di kotaku
bersama kawanmu, yang juga adik tingkatku. Tentu tidak lantas kamu bercerita
tentang keberadaanmu di Jogja, sebelumnya kamu bertanya mengenai materi kuliah.
Aku masih ingat, kepadamu jugalah kuhibahkan beberapa copy-an materi kuliah
kala itu yang kukira tidak terlalu kubutuhkan kelak. Well, we need to meet and greet then.
Tak hanya itu, di “sesi” kedua, kemarin juga, organisasi
terbesar dimana aku terlibat di dalamnya tiba-tiba muncul lagi di depan mataku.
Adalah Forum Indonesia Muda (FIM), forum besar yang berisikan pemuda-pemuda
terpilih dari seantero Indonesia (dan beberapa yang kini tinggal di luar
negeri). Aku bergabung dengan FIM pada 2009, angkatan ke-VII. Saat itu aku
masih kuliah semester tiga, begitu mudah mengingat semester tiga karena aku
meninggalkan mata kuliah Interior Eksterior demi berangkat ke Jakarta.
Salah seorang diantara teman seangkatanku menginisiasi
forum melalui media WhatsApp demi melanjutkan silaturahim yang sempat
pudar.Beberapa media yang telah digagas sebelumnya seperti milis dan Facebook
sudah tidak compatible lagi rasanya.
Setiba di rumah sepulang dari kantor, mendadak chat sudah ramai. Tiga hari dua
malam bersama, namun kesan yang tertinggal semoga akan abadi. Dan mereka masih
juga mengingatku.
Who am I?
Aku tak tahu apa yang telah kutinggalkan untuk mereka di
sana. Bahwa tiba-tiba roda kampus muncul kembali dalam putaran ceritaku. Apa-apa
yang pernah kujalani dulu kini seperti memanggilku lagi melalui cara yang lain.
Takdir berkehendak. I found the path back.
Adik-adikku, ketika kau memanggilku, “Mbak..” dari jauh
sana, itu jauh lebih mengharukan. Itu membuatku ingin kembali ke sana, ke
gedung dua. Menatap bersama guguran angsana yang dihembus gerimis, dari selasar
belakang lantai dua. Atau berkisah tentang dosen-dosen kita tercinta, di
jembatan lantai tiga diiringi hembusan angin sepoi-sepoi. Missing the moment we struggle together.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar