Sabtu, 11 Februari 2012

Garis Batas: Tirai Maya Penyekat Negeri-Negeri

Garis batas adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita adalah seonggok tubuh yang selalu membawa garis batas portabel ke sana ke mari. Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dengan siapa menutup diri.
Di hadapan orang yang sama sekali asing, kita mengalihkan pandangan. Ketika berada di keramaian, kita membaca buku atau menerawangkan pandangan kosong. Ketika seorang tak dikenal menyentuh, kita merasa tak nyaman. Namun ketika yang membelai adalah kekasih, kita menerima dengan senang hati. Di antara kawan-kawan dan handai tolan, kita membagi-bagi dalam spektrum kategori: akrab sekali, hubungan biasa, kawan jauh, hingga orang luar. Melalui garis batas, kita meraba dunia luar. Melalui garis batas, kita berlindung dari dunia luar.”[pg. 46]

Cuplikan kalimat di atas bukanlah bagian dari prolog maupun epilog dari buku karya Agustinus Wibowo ini. Namun bagi saya sepenggal paragraf tersebut sudah cukup menjadi ruh untuk menggambarkan keseluruhan tulisan petualangan di Garis Batas. Dalam skala terkecil, tiap individu sudah pasti memiliki lingkaran-lingkaran batas masing-masing, begitu pula pada skala populasi yang lebih besar seperti bangsa dan negara. Bangsa memiliki garis batas-garis batas sebagai penanda wilayah yang harus dijaga dan dilindungi sepenuh jiwa raga. Tak heran, di tiap-tiap garis perbatasan di manapun itu, akan selalu tervisualisasikan kesan keras nan tegas. Bayangkan bumi yang terdiri dari sekian ratus negara, memiliki sekian ribu garis batas? Itu berarti bumi memiliki garis-garis kehidupan yang begitu keras di setiap persimpangan antar bangsa. Adakah bangsa yang bebas dari nuansa persaingan? Pertanyaan saya selanjutnya yang membuat sejenak menerawang jauh melintas imajinasi tentang perbatasan nusantara –tanah air saya sendiri, dan negara-negara tetangga.

Garis Batas mengupas perjalanan Agustin di lima negara pecahan Uni Soviet --Asia Tengah. Negara-negara tersebut adalah Tajikistan, Kirgiztan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Negara-negara yang merupakan "remah-remah" rezim Stalin ini memiliki karakter-karakter yang berbeda-beda meskipun berasal dari satu akar rumpun. Pengkotak-kotakan dan pemaksaan karakter itu terjadi pada saat Soviet merancang negara-negara artifisial di bawah naungan sang adikuasa Soviet. Apa yang terjadi pada negara-negara itu mungkin bagi kita di dunia yang jauh dari ranah-ranah tersebut akan memiliki kesan hebat. Tetapi tidak bagi mereka. Benar kata pepatah yang telah jamak dikenal khalayak bahwa rumput tetangga terkadang terlihat lebih hijau daripada rumput di halaman sendiri.

Akhiran stan di belakang nama-nama negara itu bukanlah tanpa arti. Pernyataan apalah arti sebuah nama tidak berlaku bagi negara-negara stan ini. Stan berasal dari bahasa Persia --istan, yang berarti tanah. Jadi Tajikistan akan berarti tanah milik bangsa Tajik; Kirgiztan berarti tanah milik bangsa Kirgiz; dan seterusnya. Begitu pula dengan Pakistan, Hindustan, Afghanistan. Hal ini memiliki kemiripan dengan asal mula kata Thailand yang berarti tanah (land) milik bangsa Thai. Namun yang membedakan, kemunculan negeri-negeri stan di Asia Tengah ini dimotori oleh kehadiran Rusia di Asia Tengah. Legenda Turkistan, tanah milik bangsa Turki, umat Muslim dengan jalur sutranya, dipecah oleh Rusia melalui politik divide et impera. Garis-garis batas ditegaskan; bangsa-bangsa dikotak-kotakkan; etnis dihapus, dilebur, dilupakan!

Di Tajikistan, nama-nama yang bercitra Islami dimetamorfosa, dimodifikasi agar memiliki kesan Russian, terdiri atas nama marga, nama sebenarnya, lalu diikuti nama ayah. Sebagai contoh, Ali bin Mahmud bin Abdullah akan menjadi Abdullayev Ali Mahmudovich. Keren bin modern  bukan? Bagi orang kita nama-nama seperti ini akan menjadi kebanggaan. Namun tidak bagi mereka, itu sama sekali tidak keren apalagi modern. Bagi mereka itu adalah bagian dari penjajahan, bagian dari pemaksaan. Sama sekali tidak membuat bangga. Garis batas dengan negeri Afghanistan begitu tegas meskipun itu hanya aliran sungai. Mereka berdampingan namun begitu berbeda. Mereka berdampingan namun tak saling tahu selain apa yang terlihat dari balik garis batas dan apa yang terlihat dari balik tapis itu belum tentu benar.

Permulaan bangsa yang Muslim itu, kini telah terpengaruh citra Rusia. Banyak yang mengaku Muslim namun belum tentu menjalankan shalat atau puasa. Tidak jarang mereka begitu bangga dengan kaligrafi kalimat-kalimat Arab namun tak mengerti artinya dan seakan tak ingin tahu. Ada pula yang meyakini bahwa puasa dapat dikerjakan dengan sistem "patungan" atau menjamu tamu setara dengan menunaikan ibadah haji. Vodka juga bukanlah sesuatu yang asing pada kehidupan individu yang mengaku muslim di negara tersebut. Di Turkmenistan, sang Turkmenbashi --pemimpin tertinggi Turkmenistan, bahkan membuat kitab suci yang begitu diagung-agungkan dan menjadi buku teks wajib yang harus dihafalkan anak sekolah hingga peserta tes pegawai negeri. Garis batas yang telah dilukis di atas lembaran peta dunia ini telah mengubah kultur-kultur bangsa itu menjadi begitu berbeda.

Begitu banyak hal yang berada di luar jangkaun indera penglihatan kita saat mencoba menembus garis-garis batas hingga sampai di secarik kecil potret negeri-negeri tersebut. Teropong lensa ini begitu terbatas sedangkan kultur mereka begitu luas dalam berbagai aspek baik ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan keyakinan. Menyelami cerita Avgustin --begitu "nama Rusia" Agustin, dari negara demi negara, tapal batas yang satu dan tapal batas yang lain terkadang membuat saya terperangah, termenung, terkejut, dan turut tegang. Hingga akhirnya saya tiba pada kesimpulan: garis batas itu kejam.

4 komentar:

  1. Jadi inget aku baru baca buku ini separo dan bukunya ada di rak buku kamarku... jadi pengen cepet nyelesein buku ini di rumah hehe...

    BalasHapus
  2. enn, bilang aja pengen cepet pulang...:D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaiy... you've got what I meant :D
      huwaa...aku pgn ngobrol2 *berbagi kegalauan* haraaah...

      Hapus