Jumat, 12 Juli 2013

Storey of Story #1



Pagi yang cerah, matahari merekah, bersinar melampaui cakrawala. Namun hal itu tak dihiraukannya saat itu.  Pikirannya tertuju pada sesuatu di bawah pohon sana. Izinkan kusebut namanya Dinda. Ya, Dinda, ia terlalu sibuk memunguti daun demi daun nangka yang satu per satu gugur terhempas angin. Daun berwarna cokelat yang telah uzur itu ia susun rapi di tangan mungilnya, layaknya menata lembaran kartu atau uang kertas. Daun-daun tua itu telah kering dan kaku, terlalu mudah rapuh jika digenggam terlalu kuat. Merasa tangan sudah tak muat lagi menampung lembaran daun berlebih, lalu ia berjalan menjauh dari batang pohon.

Dinda menghitung daun-daun yang telah berhasil ia kumpulkan itu. Di belakangnya, tepatnya di dinding tua yang terbuat dari anyaman bambu, daun-daun yang lain telah berjajar rapi. Rapi bagi ukuran Dinda tentu saja. Itu adalah pekerjaan Dinda hari kemarin. Sama seperti hari ini, selama tinggal di rumah eyangnya sejak dua hari yang lalu, ia senantiasa mengumpulkan daun-daun nangka. Bukan agar eyang tak perlu susah payah menyapu halaman samping rumahnya, perkara itu justru sama sekali tak ada di dalam benaknya.

Mungkin Dinda hanya kehilangan mainannya sehari-hari. Boneka Kitty teman tidurnya, si kucing tak bermulut, atau pun balok-balok susun. Meski rumah ayah tak jauh dari rumah eyang dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki, Dinda merasa itu tak perlu dilakukannya. Ia juga lupa bagaimana awal mula ia memiliki ide mengumpulkan daun nangka dan menjejernya di dinding luar rumah eyang. Susunan dedaunan itu bahkan telah melampau tinggi badannya sendiri. Bangku panjang dari gelondongan bambu yang sengaja diletakkan di situ untuk sekedar duduk-duduk santai kala sore, telah membantunya menjalankan misi.

Begitu juga hari ini. Ia terus menambahkan daun-daun itu dengan jalan menyelipkan tangkai daun ke balik lipatan anyaman dinding bambu. Eyangnya yang turut menemaninya pun hanya tersenyum, tak memberikan komentar apapun, atau bahkan melarangnya agar dinding itu tidak terkesan berantakan. Seolah eyang mengamini tingkah Dinda setelah kemarin Dinda berkata, "Eyang, daun ini bentuknya seperti wayang. Warnanya juga cokelat."

Entah sampai kapan Dinda akan menyudahi permainan barunya, mainan yang tak dijual di mana pun, mainan yang ia buat sendiri. Sampai lelah mungkin?

2 komentar: