Senin, 15 Juli 2013

Storey of Story #3


Kawan, hari ini Dinda telah berjanji akan mengajakku berkunjung ke rumahnya, rumah ayah bundanya lebih tepatnya. Kami telah menyepakati untuk bertemu di bawah jajaran pokok-pokok pohon randu. Dan di situlah aku berada saat ini. Menunggunya.

Beruntung tak lama kemudian sosok gadis kecil itu muncul dari tikungan jalan. Kepalanya samar terlihat menyembul di balik pucuk-pucuk ilalang. Langkah kakinya naik turun, membuatnya terlihat begitu lucu. Begitu aku melambaikan tangan padanya, sontak ia segera berlari. Larinya tak cepat. Ia pernah mengadu padaku jika ia selalu kalah kalau ada perlombaan lari di sekolah atau saat perayaan tujuh belas Agustus-an. Karenanya ia sangat tidak suka pelajaran olahraga. Prestasinya selalu lemah di sana.

Senyum simpulnya tiba-tiba saja sudah hadir di depan mukaku. Tangan mungilnya segera menarik tanganku, menggenggamnya, lalu menarikku berdiri. Kami berjalan pelan bersisian ditemani hangatnya mentari. Ia terdiam tak bicara. Hanya langkah kakinya yang menjadi penunjuk arah ke mana aku harus turut menjangkah. Dan genggaman tangannya tak surut, Dinda justru semakin erat menggenggam tanganku. Seolah bocah kecil itu takut jikalau tiba-tiba aku melepaskan genggaman dan berlari meninggalkannya. Sejenak kemudian sebelah tangannya menunjuk pada satu arah. Tampak cerukan tak berpagar di sisi jalan depan sana. Pohon-pohon lebat mengelilinginya, melinjo, pisang, belimbing, dan aku berdebar saat melihat kamboja di sana. Bulu kudukku berdiri, sedikit gemetar. Dinda kian cepat melangkah, tak gentar. Kian bergegas dan sedikit berlari.

Di balik cerukan itu, bangunan tua berdiri. Berdinding anyaman bambu yang dilipit di antara tiang-tiang kayu yang berpijak pada umpak batu. Bagian depan rumah semuanya dihiasi daun-daun pintu yang jika semuanya dibuka, satu sisi rumah akan hilang. Lantainya terbuat dari semen kasar yang sudah kecokelatan karena lamanya usia. Sebagian lantai bahkan masih berupa tanah yang telah memadat berwarna kehitaman. Namun penglihatanku tak luput dari ukiran sederhana penyangga atap. Di beberapa bagian nampak untaian aksara yang entah apa artinya.

“Di sinilah aku tinggal, bersama ayah, bunda, adik, dan Kitty.”

Dinda sumringah di sampingku sudah dengan Kitty kesayangannya yang tak bosan ia ceritakan. Sepertinya hanya itulah mainan satu-satunya selain balok-balok susun hadiah dari pamannya yang bekerja di ibukota. Kalau begitu, lalu wayang-wayang daun nangkanya itu adalah benar-benar sepenggal kreativitasnya dalam keterbatasan, batinku.

Aku mendadak kelu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar