Rabu, 19 Februari 2014

Waktu dan Kepercayaan

Ia yang melingkari pergelangan tanganku.
Lingkar kedua yang diberikannya seirama dengan yang pertama.

“Hari ini seseorang memberikanku waktu beserta penandanya. Tiga jarumnya bukan sekedar menunjuk angka, melainkan mengawal pencapaianku. Tentang harapan dan batas, juga karya dan pengabdian. Terima kasih.”
Sepenggal tulisan itu tertera sebagai caption atas salah satu posting saya di akun Instagram kemarin lusa. Seorang sehabat bertanya, “Siapakah seseorang itu?”

Saya tersenyum.

Allah selalu tahu apa yang dibutuhkan oleh hambaNya. Hari itu saya meyakininya. Komisaris baru saja kembali dari tanah suci, dan penanda waktu itu adalah buah tangannya kali ini –seperti biasanya setiap beliau kembali dari bepergian, selalu ada sesuatu yang diberikannya. Saya cukup terkejut saat membuka sampul batik yang ujungnya dibentuk kipas, ada detak yang menyertainya. Pasalnya baru beberapa pekan yang lalu saya bercerita kepada seorang sahabat bahwa saya ingin memiliki penanda waktu. Nampaknya kini saya memerlukannya.

Namun ada yang lebih esensi tentang hakikat waktu. Beberapa hari lagi, genap sudah perjalanan enam bulan saya di kantor ini dan saya masih terlampau nyaman berada di sana. Saya telah mempelajari banyak hal di sini, itu pasti. Tetapi berbicara mengenai pencapaian, ada yang teramat penting yaitu: kepercayaan.

Seperti hari itu, sebelum saya menerima penanda waktu.

Tiba-tiba listrik padam. Mungkin petugas listrik sedang memperbaikinya setelah diserbu debu vulkanik tempo hari. Merasa bosan di balik layar, saya pun berpindah ke front desk yang hanya berbatas rak setinggi dada. Para staf marketing tengah membereskan dokumen, sementara saya duduk saja di sana. Tidak lama kemudian, direktur pun keluar ruangan dan bergabung di front desk.

Senyap sejenak.

“Fid,” panggil beliau.

Saya yang tadinya duduk menjajarinya pun memutar kursi dan duduk menghadapnya, “Ya Pak?”

“Kamu bisa kan jadi marketing?”

Saya tidak siap dengan pertanyaan itu, “Musti belajar dulu tapi...” ucap saya sedikit meragu.

“Iya, belajar dulu. Bisa ya?”

Saya sama sekali tidak memiliki bekal teori marketing, meski saya percaya setiap orang dibekali naluri menjadi marketing. Saya masih bimbang apakah saya bisa? Namun ini tentang kepercayaan, hanya itulah yang kemudian menguatkan saya untuk (mungkin) mengemban tanggungjawab tambahan.
“Hanya dengan kepercayaan kamu akan bisa dan merasa bisa. Orang lain percaya denganmu lalu kenapa kamu sulit percaya dengan kemampuan dirimu sendiri? Bukankah setiap orang yang percaya denganmu akan berkata tegas bahwa kamu bisa. Saatnya belajar, saatnya mencoba. Dan saatnya “terlahir” kembali dengan kekayaan ilmu.”
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.

Selamat pagi, selamat hari Rabu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar