Kamis, 06 November 2014

[1] Surabaya: Itinerary



Menjelajah bagi saya adalah menemukan; sebagaimana mengunjungi, bagi saya adalah mengetahui. 
-Naya Moeda


Sudah sepekan lebih sejak aku bertandang ke Kota Pahlawan, Surabaya. Beberapa kawan pun telah menanyakan mengenai catatan perjalanan. Baiklah, di sini aku akan lekas memulainya.

Sejak jauh-jauh hari aku telah menyisir tanggal merah di hari Sabtu atau Senin. Mungkin sejak dua hingga tiga bulan sebelum Oktober. Ya, bagi karyawan enam-hari-kerja seperti aku, tanggal merah di Sabtu atau Senin laksana mutiara.

Sangat membingungkan memilih tempat bertualang untuk hari-hari itu. Aku harus pergi ke luar kota, kemana pun itu. Sempat ada beberapa opsi seperti Bromo, Batu, Green Canyon, hingga Desa Bambu Village. Namun untuk kemungkinan solo trip –teman yang kuajak belum bisa memastikan keikutsertaannya, objek-objek tersebut terlampau jauh aksesnya juga kurang menguntungkan dari segi budgeting. Maka kuputuskan aku akan menjelajah kota saja.

Beberapa alternatif kota, diantaranya Jakarta, Bandung, dan Surabaya, mulai kutengok untuk membuat itinerary. Jika ke Jakarta, aku ingin mengunjungi eks-kos semasa di Bintaro Pesanggrahan sekaligus bertandang sejenak ke Bogor, menengok Kampus Tazkia dan kehidupan semasa di Cadasngampar. Bandung dan Surabaya, entah tidak ada bayangan lebih jauh, tidak ada tempat yang otomatis melintas di pikiran.

Sebagai permulaan, bergerilyalah aku di situs ticketing kereta api. Dan aku mendapat jawaban atas pertanyaan, “Mengapa Surabaya?” Aku akan ke Surabaya karena tiket ke sana yang paling minimal. Dan pertanyaan itu memang dilontarkan beberapa teman yang kupamiti, aku pun menjawabnya seperti itu. Hari-hari berikutnya aku rutin mengecek situs tiket itu. Untuk pulangnya, karena tiket kereta api paling siang pukul 13.30 dan tidak ada kereta ekonomi malam, aku memutuskan memilih moda transportasi bis. Terlalu sayang, melewatkan waktu siang hingga malam hari.

Perjalanan yang akan kulalui kurancang tidak biasa, aku tidak berani mengajak lebih banyak teman. Alasannya, aku ingin pergi dengan menekan budget seminim mungkin –ala backpacker, kataku saat itu. Pergi dengan kereta ekonomi, sebisa mungkin di sana hanya akan berjalan dan berjalan, meminimalkan angkot, ojek, apalagi taksi. Belum ada bayangan akan menginap dimana. Kelak, aku menemukan makna di balik langkah-langkahku, yang tak terpikirkan sebelumnya. Di perjalanannya nanti akan kuceritakan.

Tidak terbersit sekalipun dalam pikiran bahwa aku akan mengunjungi Surabaya untuk pertama kalinya. Sungguh, tidak ada bayangan mengenai kota itu. Perjalanan ke timurku baru sampai di Batu, Malang, dan sekedar lewat saja menuju Bali. Pamanku pernah tinggal di Sidoarjo, cukup dekat dengan Surabaya sebenarnya. Sayang, beberapa bulan yang lalu harus pindah tugas lagi, kembali ke ibukota. Padahal aku belum pernah mengunjungi rumah paman itu, yang sebenarnya akulah arsiteknya. Baiklah, tidak ada saudara yang bisa kukunjungi di sana.

Aku bergegas mengingat-ingat teman-teman yang berada di Surabaya dan sekitarnya. Menghubungi satu demi satu seraya merekues tempat-tempat yang patut kukunjungi. Hampir semuanya merekomendasikan ke House of Sampoerna, museum milik perusahaan rokok Sampoerna, dan ikut tur Surabaya Heritage Track. Selain itu Taman Bungkul, Tugu Pahlawan, juga Masjid Ceng-ho. Meski aku pun telah memiliki daftar tempat yang kiranya harus dikunjungi berikut rute alurnya setelah melakukan riset kecil-kecilan di Google Maps: Monumen Kapal Selam, yang lokasinya begitu dekat dengan Stasiun Gubeng; kawasan Kalisosok dimana terdapat bangunan penjara tua; serta Jalan Gula yang sepertinya begitu populer menjadi lokasi prewedding photo.

Mengingat aku akan di Surabaya selama dua hari, seharusnya aku pun membuat rencana perjalanan untuk dua hari. Namun untuk hari kedua, aku sudah tidak ada ide lagi hingga detik-detik akan berangkat. Just call my bestfriend, then. Aku pun bercakap via layanan obrolan, lalu menyimpulkan akan menginap di Pandaan, Pasuruan, dimana Fa, sahabat-sepuluh-tahunku bekerja dan tinggal. Mau kemana di hari kedua kuserahkan kepadanya.

Fa  juga mengusulkan untuk kemungkinan menyewa motor agar mobilitas lebih efektif. Tapi aku tidak yakin, seperti ada beban karena ada “tentengan” lain, bagaimana dengan angkot tanyaku. Apakah di sana angkot mudah dijumpai? Perbincangan mengenai transportasi ini tidak lantas usai begitu saja. Pertimbangan atas beberapa hal itu berlangsung dua hari, hingga akhirnya kami memutuskan untuk berjalan saja atau naik angkot.

Persoalan berikutnya muncul saat Fa tiba-tiba mengirimkan pesan singkat, katanya untuk mengikuti tur Surabaya Heritage Track sebaiknya pesan seats bis sebelum kehabisan. Aku pun sepakat untuk segera menelepon House of Sampoerna. Beberapa aku menelepon, tidak ada jawaban. Slow... Usai makan siang, aku menelepon kembali, dan voila! Seseorang mengangkat telepon. Tidak sesuai rencana, booking seats via telepon sudah penuh. Satu-satunya saran dari resepsionis House of Sampoerna, datang sepagi mungkin dan booking di tempat.

Aku pun segera mengonfirmasi kepada Fa, berikut mengatakan, “Kalau kita tidak bisa ikut tur House of Sampoerna. Kita jalan saja ke Jalan Gula, aku penasaran.”[]

2 komentar: