Selasa, 17 Maret 2015

Animal Planet

Pukul 11.34 WITA. Saya baru saja sejenak ke kamar mandi yang terletak di barat laut paviliun kami selama tinggal di Rumah Intaran. What a surprise! Di dinding kamar mandi tampak seekor tokek yang juga sama-sama “jenggirat”nya begitu saya menyalakan lampu. Tidak sampai menjerit atau bergidik ngeri memang namun cukup membuat hati berkata, “Wow!” Pasalnya tokek ini kemarin siang bercokol di meja kamar, nangkring begitu saja diantara lotion dan tempat lilin. Sebelumnya ia berjalan-jalan di balok-balok atap paviliun lantas sempat turun ke lantai, menghilang sejenak lalu menampakkan diri di atas koper. Pose-pose yang sangat aduhai.

Saya jadi ingat kata-kata di awal program 300 Hari di Rumah Intaran berikut beberapa pertanyaan wawancara via surat elektronik yang memang mencerminkan apa dan bagaimana yang akan dihadapi di sini. Orang-orang yang sampai di Rumah Intaran adalah orang-orang yang telah menyeleksi dirinya sendiri untuk menghadapi apapun yang akan terjadi di depannya, termasuk hidup dengan sahabat-sahabat yang penuh kejutan ini.

Selama 45 hari di Rumah Intaran ini, sudah banyak teman-teman yang mewarnai hari-hari. Belum ada dua jam yang lalu saya berkata kepada Hafs, teman sekamar saya, “Mungkin kita perlu membuat list hewan-hewan apa saja yang telah dan akan kita temui di sini.” Perjumpaan pertama saya adalah dengan anjing-anjing yang tak hanya satu dua. Luki, anjing yang dikerangkeng; Dompu, anjing jantan yang sudah dikebiri; juga Bora dan kelima anak bayinya. Kini anak-anak Bora tinggal menyisakan dua ekor setelah diminta wayah, Mbok Yan, dan teman Taksu. Anjing-anjing kecil tidak seramai dulu, tetapi yang dua ekor tingkahnya kian lincah saja!

Anjing sebenarnya juga bukan hal baru bagi saya. Semasa sekolah dasar, saya pulang berjalan kaki melewati kawasan perkampungan yang didominasi umat Kristen-Katolik dengan anjing-anjing yang berkeliaran. Tetangga sebelah rumah saya pun memelihara anjing. Namun, mengapa saya menjaga darinya adalah karena fiqh (aturan hukum) pada agama yang saya anut di samping memang saya kurang menyukai hewan berambut.

Ayam dan burung dara menjadi peliharaan lain di Rumah Intaran. Dua ayam pejantan dan sepasang burung dara yang kini tinggal satu saja. Nyamuk menjadi sahabat lain yang juga menjadi musuh bersama. Menjelang senja kadangkala mereka bermunculan, menyerbu kolong-kolong meja sehingga kaki-kaki kami kemudian menjadi gatal-gatal tidak karuan. Kicau burung hampir tiap hari menemani pagi hari saat beranjak memulai aktivitas. Sejauh itu masih tampak normal sebelum saya bertemu berbagai hewan unik lainnya.

Cicak.
“Yaah, jackpot lagi!” Seruan ini bisa terjadi kapan saja, tak terduga, tak terkira. Menandai bahwa sesiapa dari saya atau Hafs telah dianugerahi hadiah kotoran cicak yang jatuh di atas sprei. Mungkin beginilah Tuhan membuat kita kreatif. Sementara ini kami menjadi pemburu koran untuk menutupi bagian atas sprei yang sering dijatuhi jackpot. Selain itu, koran ini menjadi alas kami menggelar sajadah untuk melaksanakan ritual shalat wajib lima waktu.

Ngengat.
Pekan lalu kami sangat akrab dengan ngengat di kamar. Ia terbang dan hinggap di berbagai tempat. Sejauh ini tidak menjadi sesuatu yang menghebohkan.

Lintah.
Hewan yang satu ini selalu ditemukan oleh Hafs. Entah sedang pelan-pelan merambat di lantai kamar atau baru sampai di beranda paviliun. Lingkungan sekitar yang lembab memang menjadi hal wajar bertemu dengan makhluk satu ini.

Tawon.
Sarang tawon menggantung di dekat lampu kamar mandi. Beberapa ekor tawon yang tidak sedikit jumlahnya menghuni rumah tersebut. Sementara belakangan ini saya baru menyadari muncul sarang baru di sudut kamar mandi, tepat di atas monoblock. Tawon tidak akan menyerbu apabila tidak diganggu tetapi entah mengapa saya pernah menjadi korbannya.

Belalang sembah.
“Belalang, belalang, bagaimana X tidur?” Spesies satu ini sebenarnya mengingatkan saya pada masa kecil dan bermain bersama bapak. Bapak lah yang mengajari saya memainkan cangcorang atau belalang sembah ini. Dan tak jarang kami akan menemukannya pula di kamar meski kemudian akan menghilang juga diam-diam.

Tentu masih ada sahabat-sahabat alam yang lain yang belum saya lihat atau temui. Yang jelas, ada makhluk misterius yang tingkahnya menjadi kejutan bagi saya dan Hafs. Beberapa hari belakangan saat siang hari kami akan menunaikan shalat dzuhur, tiba-tiba saja makanan berbungkus yang kami tinggalkan di atas meja sudah digerogoti dan tercabik packaging-nya. Dan kami belum dapat memecahkan teka-teki siapa pelakunya. Siapakah dia? Mungkin tikus, tetapi kami sangsi karena kami belum pernah berjumpa dengannya di kamar.

Beruntung tidak ada diantara kami yang sangat ketakutan dengan hal-hal seperti itu. Kami memang harus melaluinya, bersahabat dengan mereka, menghindar atau mengusir baik-baik.




Hampir lupa. Kini kami memiliki peliharaan baru yang kami sebut BSF, singkatan dari Black Soldier Fly. BSF ini merupakan tentara-tentara dengan siklus (metamorfosa) hidup pendek-pendek yang akan menghabiskan sisa-sisa makanan kami lantas melumatnya menjadi cairan yang dapat digunakan sebagai pupuk cair. BSF ini yang akan menyelamatkan sampah-sampah organik kami dan menyulapnya menjadi sesuatu yang nantinya juga bermanfaat bagi kami. Jadi kini yel seusai makan kami adalah, “BSF mau sisa makanan ini nggak ya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar