Jumat, 20 Maret 2015

Melasti Menjelang Nyepi

 

Perayaan Nyepi tahun ini jatuh besok Sabtu (21/03). Kemarin (19/03) saya berkesempatan untuk melihat secara langsung upacara Melasti di Pantai Ponjok Batu, Buleleng, Bali Utara. Sebelum berangkat ke pantai, kami berganti busana, mengenakan kain, kebaya, dan iket terlebih dahulu. Saya yang di Jawa jarang mengenakan kain tentu sangat awam bagaimana caranya. Tidak rapi sama sekali sampai akhirnya Ibu membetulkan cara saya mengenakan kain.

Melasti atau melis merupakan ritual penyucian diri bagi umat Hindu di Bali untuk menyambut hari raya Nyepi. Upacara ini dilangsungkan bersama-sama satu desa di pantai atau di sumber-sumber mata air lain seperti danau. Umat Hindu percaya bahwa dengan melaksanakan melasti maka air kehidupan (tirta amerta) akan menghanyutkan segala hal yang buruk jauh ke laut. Melasti ramai-ramai satu desa hanya dilakukan setahun sekali menjelang Nyepi. Oleh karena itu, ibadah ini terasa begitu istimewa dan membawa kebahagiaan tersendiri bagi penganut Hindu.

Satu per satu umat Hindu berdatangan meski saat itu matahari tepat di atas kepala. Panas begitu menyengat, dan pantai sangat ramai. Suhu udara tidak menyurutkan niat mereka untuk menghadap kepada Tuhan. Wanita-wanita Bali membawa makanan-makanan yang telah ditata, disunggi di atas kepala sebagai maturan (penghaturan) kepada Tuhan. Makanan-makanan itu akan dibariskan di tepi pantai, diatata kembali, dan tidak lupa menyalakan batang-batang dupa. Aroma dupa pun seketika meruap ke udara. Saya berkeliling, mengamati apa yang mereka lakukan, sesekali menjepret. Sesekali kaki menyentuh butiran pasir pantai yang panas. Badan kamera turut memanas, hingga akhirnya saya dan Hafs memutuskan untuk berteduh di bawah pohon, di ujung pantai.


Tak kalah padat, masyarakat banyak yang telah berteduh di bawah pepohonan tersebut. Saya dan Hafs dengan jilbab yang kami kenakan, berniat turut serta duduk di atas batu-batu pantai itu. Sontak kami pun seakan menjadi pusat pandangan mata. Orang-orang menatap. Seorang Bapak bertanya, “Mau ke mana Dik?”. Beberapa saat kemudian, seseorang yang mulanya duduk di batu atas beranjak turun, menghampiri kami. Duduk di sebelah saya dan menanyakan hal yang sama, “Dari mana? Kok bawa-bawa kamera segala? Tinggal di mana?” Dikiranya kami adalah reporter karena beliau kemudian berkata tumben ada yang sampai ke sini padahal biasanya tidak ada apa-apa. Hingga akhirnya beliau mengajak berfoto bersama.


Orang-orang Bali begitu ramah dengan keberadaan saya di sana. Saya senang dapat melihat langsung mereka melakukan Melasti, meski mereka pun memandang saya dengan sorot mata yang tidak biasa. Menjadi minoritas adalah ketakutan pertama saya sebelum akhirnya membulatkan niat untuk berangkat ke Bali. Namun setelah menjalani di sini, saya merasa bahwa di tengah minoritas ini tersembul keramahan yang lain. Bahwa menjadi minoritas berarti kita akan belajar mengerti dan memahami adat dan budaya setempat. Belajar menghargai kebiasaan-kebiasaan yang tidak biasa di lingkungan sebelumnya.


Orang-orang yang hampir semuanya berpakaian warna putih satu per satu duduk rapi menghadap laut dan makanan. Saya pun lekas beranjak, melangkah menuju tengah mereka. Dengan dipandu pemangku, mereka mulai bersembahyang, mengangkat tangan yang ditangkupkan hingga sebatas kepala beberapa kali. Saat itulah suasana terasa hening, khusyu’. Selepas itu para pemangku melangkah ke depan menuju perangkat-perangkat yang turut serta dibawa. Para pemangku akan berkeliling, memercikkan air suci dan memberikan sejumput beras kepada seluruh umat yang datang. Beras itu akan dibagi beberapa untuk ditempelkan di dahi, pelipis kanan dan kiri, bawah leher, serta di belakang daun telinga.



Setelah itu umat Hindu kembali menangkupkan tangan dan menaikkan hingga setinggi kepala. Dengan begitu keseluruhan ritual Melasti telah selesai. Makanan yang tadinya dibawa maturan, diambil kembali dan boleh dimakan. Saat itulah semua umat berdiri dan beranjak pulang. Suasana terasa sangat ramai. Pecalang pun bersiap mengamankan jalanan lagi yang macet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar