Satu pekan
telah berlalu semenjak masyarakat Hindu di Bali merayakan Nyepi. Bagi perantau dengan
kultur asal sangat berbeda, berada di tengah-tengah masyarakat asing tentu
memperkaya pengalaman dan pengetahuan saya. Mengenal dan mengetahui bagaimana kehidupan
sosial dan tradisi berjalan menjadi sebuah catatan tersendiri.
Nyepi atau
Perayaan Tahun Baru Saka merupakan salah satu hati besar yang diperingati
masyarakat Hindu di Bali. Persiapannya pun sudah dimulai sejak jauh-jauh hari,
misalnya dengan membuat ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh adalah semacam raksasa yang
terbuat dari berbagai material sesuai kreativitas, bambu, stereofoam, kertas,
hingga kain. Beberapa ogoh-ogoh juga disertai elemen-elemen seperti api atau
air.
Ogoh-ogoh
merupakan simbol kekuatan-kekuatan negatif yang tidak baik berada di sekeliling
manusia Hindu Bali dan harus dinetralkan. Caranya, ogoh-ogoh akan diarak di
banjar-banjar –hingga seperti festival karena semua masyarakat turun ke jalan
dan turut menyemarakkannya. Setelah itu akan dibakar sehingga kekuatan itu akan
pergi.
Beruntung saya
mendapat kesempatan pula untuk menyaksikan arak-arakan ogoh-ogoh di Desa
Tamblang, Buleleng. Saat saya sampai di dekat Pasar Tamblang, persiapan masih
berlangsung. Anak-anak dengan kebanggaan penuh turut serta mempersiapkan dan
berlatih, tak terkecuali beberapa balita yang menggemaskan. Rata-rata para
pengarak ogoh-ogoh ini mengenakan pakaian hitam-hitam –yang mungkin pertanda “kegelapan”.
Sejurus
kemudian tampak para pecalang yang kian banyak bersiaga. Mengatur jalannya “festival”
karena masyarakat memadati jalanan –yang seringkali tidak terkontrol. Menjelang
pukul tiga, arak-arakan ogoh-ogoh mulai melintas satu per satu, begitu banyak
bentuknya, kalau kata teman saya dulu hal itu menunjukkan betapa orang-orang
Bali memiliki kreativitas dan seni yang tinggi.
Saya pun turut
berdesakan diantara riuhnya orang-orang yang bersemangat untuk mendapatkan
tempat terdepan. Tak ketinggalan beberapa orang yang melihat ogoh-ogoh dari
lantai dua rumah atau dari atas pura –yang biasanya letaknya lebih tinggi dari
jalan. Dengan kamera di tangan dan suasana yang padat, tak pelak menyulitkan
ruang gerak saya pula. Tak jarang saya kemudian terdesak ke belakang, tak
jarang pula kena cegat pecalang.
Pukul lima
keseluruhan arak-arakan baru selesai melintas, tentu acara belum selesai karena
ritual selanjutnya masih panjang. Ogoh-ogoh itu akan kembali diarak menuju
lapangan, kemudian akan diadakan pentas seni dan pembakaran ogoh-ogoh sebagai
pamungkas tradisi malam sebelum Nyepi.
---
Pagi hari 1
Saka terasa sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Jalanan sunyi,
orang-orang tidak boleh keluar ke jalanan. Saya hanya menghabiskan seharian itu
dengan beraktivitas di kompleks Rumah Intaran saja. Terdapat pantangan saat
merayakan Nyepi bagi umat Hindu antara lain tidak menyalakan api atau cahaya,
tidak bepergian, tidak bekerja, dan tidak bersenang-senang atau menghibur diri.
Selain itu pada hari Nyepi, sebagian besar umat Hindu akan berpuasa selama 24
jam.
Waktu terasa
begitu lama, selain karena aktivitas yang monoton juga suasana yang sepi. Saya
yang tidak merayakannya tentu harus mencari pengalihan lain. Saat masuk kamar
saya akan memutar film dan menontonnya, lalu menghabiskan dengan membaca buku. Menjelang
senja, lampu matahari mulai redup. Hari mulai gelap. Gelap! Tidak ada lampu
sama sekali –kecuali mendesak. Ada pengecualian dalam hal penerangan ini, untuk
orang yang sudah tua, orang sakit, dan memiliki bayi.
Konon, malam
itu bintang begitu jelas terlihat. Gemerlap gemintang. Saat saya membuka laman
media sosial, beberapa orang pun telah mempublikasikan potret-potret langit
dari berbagai tempat di Bali. Benar saja, karena tidak ada polusi cahaya yang
mengaburkan cahaya dari atas. Namun tidak ada nyali bagi saya untuk keluar
kamar padahal menatap langit berbintang adalah kegemaran saya semasa
kecil. Esok harinya? Jelas kecewa.