Keluar dari rumah peninggalan ibunda Pak Ketut Arthana |
Cerita ini datang terlambat. Selepas hujan yang
datang tanpa kunjung pergi.
Hari Minggu
kemarin (08/03) Rumah Intaran menggelar acara bertajuk “Belajar dari Desa”. Kali
ini kami menjelajah Desa Tejakula bersama Bapak Ketut Arthana, arsitek yang
juga prinsipal Arte Architect yang berkantor di Bali. Bersama lima belas
peserta lain dan tim dari Rumah Intaran, blusukan di kampung halaman Pak Tut
ini diawali dengan mengenal rumah peninggalan ibunda Pak Tut, rumah yang
dibangun pada tahun 1978 dengan berbagai macam tarik ulur antara Pak Tut dan
ibunya. Pertama, Pak Tut menghendaki tanah yang tidak diratakan. Memang saat
saya melihat kontur rumah tersebut sangat berbeda-beda elevasi tanahnya. Kedua,
tidak boleh ada pohon yang ditebang, kalaupun ada maksimal penebangan hanya
boleh lima pohon. Hasilnya kawasan rumah ini masih terlihat rindang. Mengadopsi
kebiasaan orang Bali yang lebih menggemari duduk-duduk di tangga daripada di
kursi, bangunan-bangunan yang ada pun memiliki beberapa anak tangga. Sementara
itu angkul-angkulnya diambil dari rumah tua dengan gaya Singaraja yang
mengadopsi langgam Belanda dan atau Portugis.
Pak Tut mendeskripsikan apa dan bagaimana yang terdapat di desanya. |
Desa Tejakula
merupakan salah satu desa yang tergolong Bale Mula (desa tua, di Bali Selatan
akrab disebut Bali Aga). Dan Pura Dalem menjadi catatan historisnya. Pura Dalem
diambil dari Jawa, dibawa oleh Mpu Kuturan. Di pura ini saya mengenali kembali
tipologi arsitektur Bali dimana tiang-tiang atap digunakan pula sekaligus
tiang-tiang konstruksi. Sementara itu, dindingnya hanya sebagai pembatas tanpa
adanya beban yang dilimpahkan padanya. Bahkan dekorasinya pun sangat detail,
pada tiang-tiang tengah dengan beban nol, terdapat cerukan hingga menyisakan diameter kecil di tengah tiang yang disebut kincut.
Kincut. |
Kami lantas
menemukan pula sebuah rumah yang kata Pak Tut merepresentasikan kehidupan
masyarakat Bali Mula yang digunakan di Tejakula. Ada sebuah rumah dengan pintu
hijau, rumah kecil yang berhadapan dengan dapur terbuka, dipisahkan halaman
cukup luas di tengahnya. Dapur tersebut dilengkapi dengan bale-bale. Konon,
orang yang baru saja menikah akan mendapatkan satu kaveling tanah kecil
tersebut dan mereka harus tinggal dahulu di dapur sebelum akhirnya menempati
rumah yang sebenarnya.
Desa Tejakula
pernah mengalami longsor pada tahun 1969. Pada satu bagian memang ada lereng
yang menghijau. Namun ternyata itu akibat tragedi longsor yang membuat para
penduduk sadar untuk memelihara hutan. Secara swadaya, masyarakat menanami
sendiri hutannya dengan pohon-pohon mahoni, jati, durian, dan lain sebagainya.
Apabila terdengar suara orang menebang pohon, penduduk akan dengan sigap
mengejar pelakunya.
Bu Menik dan suaminya. |
Tak
ketinggalan menjumpai Bu Menik, penari Trunajaya 1, yang artinya penari generasi
pertama setelah penciptanya. Trunajaya awalnya merupakan tari Gong Kebyar 3
yang setelah dibawa ke hadapan Bapak Soekarno dinilai terlalu panjang sehingga
dipotong durasinya. Saat ini di usianya yang tak lagi muda Bu Menik
mendedikasikan dirinya untuk mendidik anak-anak muda yang ingin belajar tari
tanpa dipungut biaya. Satu tujuannya, agar tari tetap lestari dan ada generasi
penerusnya.
Ratu Gede Serabad |
Terakhir kali,
kami mengunjungi Pura Syahbandar yang merupakan pura yang dahulu dikuasai Cina.
Satu hal yang unik, di pura tersebut terdapat satu pelinggih dengan nama Ratu
Gede Serabad atau biasa dijuluki pula Ratu Gede Makkah. Makkah adalah tempat
yang identik dengan kaum Muslim, dimana kiblat berada di kota tersebut.
Pelinggih Ratu Gede Serabad dimaksudkan sebagai penghargaan kepada Muslim.
Letaknya yang dekat dengan pelabuhan sebagai tempat singgah para pendatang
menimbulkan interaksi social. Betapa masyarakat di zaman dahulu telah
menjunjung tinggi toleransi, hidup bersama berdampingan, dan menghormati satu
sama lain tanpa ada pertentangan.
Dan hujan kembali menutup perjalanan tujuh
kilometer kami hari itu.
Dan untuk
makan siang, Pak Tut dan keluarga telah mempersiapkan beberapa sajian khas Desa
Tejakula. Saya memilih rujak dan mengguh.
Rujak Ala
Bali.
Gula aren dan
asam berpadu menjadi satu. Tak lupa disertai taburan irisan mentimun dan kacang
goreng.
Bubur yang mirip dengan bubur manado. Bubur yang dimasak dengan isian sayur-sayuran.
Rujak |
Mengguh. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar