Foto: Bapak Gede Kresna |
Hari ini
(07/03) menjadi jadwal saya dan Hafshah untuk mengajar di SD No. 1 Kajanan,
Singaraja. Sebagai rangkaian ulang tahun Rumah Intaran yang ketiga, kami merasa
perlu untuk membagikan inspirasi kepada anak-anak sekolah dasar. SD No. 1 Kajanan
terletak tepat di belakang Masjid Kuna Singaraja yang juga merupakan kawasan
kampung Arab. Saya sama sekali tidak menyangka status Sekolah Dasar Negeri di daerah
dengan mayoritas beragama Hindu menyuguhkan hal yang sebaliknya. Hanya satu
anak saja yang berkeyakinan Budha, selebihnya Muslim.
Pak Edy
Baimin, kepala sekolah SD No. 1 Kajanan menyambut kami dengan hangat. Kakeknya
berasal dari Jogja, sementara beliau lahir di Banyuwangi dan menetap di Bali
semenjak 34 tahun yang lalu. Saat saya dan Hafshah pertama kali menemui Pak Edy
untuk meminta ijin Pak Edy banyak bercerita mengenai Jawa dan Bali. Tentu
karena ada benang yang mempertemukan kami: asal daerah. Beliau menyambut baik
niat kami untuk memberikan materi pengembangan diri mengenai lingkungan hidup.
Sebelum kami
memberikan sosialisasi mengenai “Manfaat Pohon Intaran dan Bagaimana Menjaga
Lingkungan”, Pak Edy memberikan kata-kata pendahuluan kepada murid-muridnya.
Salah satu hal yang paling berkesan bagi saya terletak pada bagian, “… dengarkan apa yang kakak-kakak ini
sampaikan. Kalau ada yang bagus, diambil dan dicontoh, terutama jilbabnya.
Karena di kelas ini baru satu yang memakai jilbab. Nanti setelah masuk SMP,
semua harus memakai jilbab.” Saya merasa bahwa di sekolah ini nuansa
keislamannya sangat kuat. Tidak salah ketika saya mengunjungi ruang kepala
sekolah, deret-deret piala yang menghiasi etalase kebanyakan diraih dari bidang
keagamaan, semisal adzan, tartil, atau hafidz.
Anak-anak SD
No. 1 Kajanan sangat antusias dan aktif, bahkan dapat saya bilang terlampau
antusias. Bahagia rasanya bisa berbaur dengan anak-anak itu, namun sangat
kewalahan saat mereka lantas tidak tenang lagi dan kami kehilangan kendali.
Saat kami membagikan daun-daun intaran, mereka belum tahu apa dan bagaimana
daun intaran namun tanpa ragu berebut meminta daun-daun intaran. Bahkan turut
mencicipinya meski belakangan baru tahu bahwa rasanya pahit. Lalu tiba-tiba
kami melihat neem stick telah lenyap,
entah siapa yang mengambilnya.
Riuh dan larut dalam tawa. Foto: Ibu Ayu Gayatri. |
Antusiasme
seperti ini tidak pernah saya alami selama saya bersekolah di Jawa. Jawa,
utamanya Jogja dan Solo yang mengajarkan untuk menjunjung tinggi sopan santun
kepada orang lain, termasuk kepada orang-orang yang belum dikenal. Nakalnya
teman-teman saya waktu itu tidak sebanding dengan anak-anak di sini.
Teman-teman sekolah hanya akan lebih berani kepada orang-orang yang sudah
dikenalnya. Selebihnya: malu dan sungkan, ewuh
pakewuh.
Apapun yang
terjadi hari ini, saya merasa sangat beruntung dapat bertemu calon-calon
penerus estafet bangsa. Senyum dan semangat mereka menjadi warna baru dalam perjalanan
kehidupan saya. Menyampaikan kepada anak-anak ini sedari dini tentang
lingkungan semoga dapat menumbuhkan semangat cinta lingkungan sehingga masa
depan bumi akan lebih terjaga.
Sampai jumpa
di SD Negeri No. 1 Kampung Bugis pekan depan!
***
Mendadak teringat
teriakan semangat, “Pemuda Indonesia! Aku untuk Bangsaku!” Apa kabar
wahai pemuda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar