Pukul 11.34
WITA. Saya baru saja sejenak ke kamar mandi yang terletak di barat laut
paviliun kami selama tinggal di Rumah Intaran. What a surprise! Di dinding kamar mandi tampak seekor tokek yang
juga sama-sama “jenggirat”nya begitu saya menyalakan lampu. Tidak sampai
menjerit atau bergidik ngeri memang namun cukup membuat hati berkata, “Wow!”
Pasalnya tokek ini kemarin siang bercokol di meja kamar, nangkring begitu saja
diantara lotion dan tempat lilin.
Sebelumnya ia berjalan-jalan di balok-balok atap paviliun lantas sempat turun
ke lantai, menghilang sejenak lalu menampakkan diri di atas koper. Pose-pose
yang sangat aduhai.
Saya jadi
ingat kata-kata di awal program 300 Hari di Rumah Intaran berikut beberapa
pertanyaan wawancara via surat elektronik yang memang mencerminkan apa dan
bagaimana yang akan dihadapi di sini. Orang-orang yang sampai di Rumah Intaran
adalah orang-orang yang telah menyeleksi dirinya sendiri untuk menghadapi
apapun yang akan terjadi di depannya, termasuk hidup dengan sahabat-sahabat
yang penuh kejutan ini.
Selama 45 hari
di Rumah Intaran ini, sudah banyak teman-teman yang mewarnai hari-hari. Belum
ada dua jam yang lalu saya berkata kepada Hafs, teman sekamar saya, “Mungkin
kita perlu membuat list hewan-hewan apa saja yang telah dan akan kita temui di
sini.” Perjumpaan pertama saya adalah dengan anjing-anjing yang tak hanya satu
dua. Luki, anjing yang dikerangkeng; Dompu, anjing jantan yang sudah dikebiri;
juga Bora dan kelima anak bayinya. Kini anak-anak Bora tinggal menyisakan dua
ekor setelah diminta wayah, Mbok Yan, dan teman Taksu. Anjing-anjing kecil
tidak seramai dulu, tetapi yang dua ekor tingkahnya kian lincah saja!
Anjing
sebenarnya juga bukan hal baru bagi saya. Semasa sekolah dasar, saya pulang
berjalan kaki melewati kawasan perkampungan yang didominasi umat
Kristen-Katolik dengan anjing-anjing yang berkeliaran. Tetangga sebelah rumah
saya pun memelihara anjing. Namun, mengapa saya menjaga darinya adalah karena
fiqh (aturan hukum) pada agama yang saya anut di samping memang saya kurang
menyukai hewan berambut.
Ayam dan
burung dara menjadi peliharaan lain di Rumah Intaran. Dua ayam pejantan dan
sepasang burung dara yang kini tinggal satu saja. Nyamuk menjadi sahabat lain yang
juga menjadi musuh bersama. Menjelang senja kadangkala mereka bermunculan,
menyerbu kolong-kolong meja sehingga kaki-kaki kami kemudian menjadi
gatal-gatal tidak karuan. Kicau burung hampir tiap hari menemani pagi hari saat
beranjak memulai aktivitas. Sejauh itu masih tampak normal sebelum saya bertemu
berbagai hewan unik lainnya.
Cicak.
“Yaah, jackpot lagi!” Seruan ini bisa terjadi
kapan saja, tak terduga, tak terkira. Menandai bahwa sesiapa dari saya atau
Hafs telah dianugerahi hadiah kotoran cicak yang jatuh di atas sprei. Mungkin
beginilah Tuhan membuat kita kreatif. Sementara ini kami menjadi pemburu koran untuk
menutupi bagian atas sprei yang sering dijatuhi jackpot. Selain itu, koran ini menjadi alas kami menggelar sajadah
untuk melaksanakan ritual shalat wajib lima waktu.
Ngengat.
Pekan lalu
kami sangat akrab dengan ngengat di kamar. Ia terbang dan hinggap di berbagai
tempat. Sejauh ini tidak menjadi sesuatu yang menghebohkan.
Lintah.
Hewan yang
satu ini selalu ditemukan oleh Hafs. Entah sedang pelan-pelan merambat di
lantai kamar atau baru sampai di beranda paviliun. Lingkungan sekitar yang
lembab memang menjadi hal wajar bertemu dengan makhluk satu ini.
Tawon.
Sarang tawon
menggantung di dekat lampu kamar mandi. Beberapa ekor tawon yang tidak sedikit
jumlahnya menghuni rumah tersebut. Sementara belakangan ini saya baru menyadari
muncul sarang baru di sudut kamar mandi, tepat di atas monoblock. Tawon tidak akan menyerbu apabila tidak diganggu tetapi
entah mengapa saya pernah menjadi korbannya.
Belalang
sembah.
“Belalang,
belalang, bagaimana X tidur?” Spesies satu ini sebenarnya mengingatkan saya pada
masa kecil dan bermain bersama bapak. Bapak lah yang mengajari saya memainkan
cangcorang atau belalang sembah ini. Dan tak jarang kami akan menemukannya pula
di kamar meski kemudian akan menghilang juga diam-diam.
Tentu masih
ada sahabat-sahabat alam yang lain yang belum saya lihat atau temui. Yang
jelas, ada makhluk misterius yang tingkahnya menjadi kejutan bagi saya dan
Hafs. Beberapa hari belakangan saat siang hari kami akan menunaikan shalat
dzuhur, tiba-tiba saja makanan berbungkus yang kami tinggalkan di atas meja
sudah digerogoti dan tercabik packaging-nya.
Dan kami belum dapat memecahkan teka-teki siapa pelakunya. Siapakah dia?
Mungkin tikus, tetapi kami sangsi karena kami belum pernah berjumpa dengannya
di kamar.
Beruntung
tidak ada diantara kami yang sangat ketakutan dengan hal-hal seperti itu. Kami
memang harus melaluinya, bersahabat dengan mereka, menghindar atau mengusir
baik-baik.
Hampir lupa.
Kini kami memiliki peliharaan baru yang kami sebut BSF, singkatan dari Black Soldier Fly. BSF ini merupakan
tentara-tentara dengan siklus (metamorfosa) hidup pendek-pendek yang akan
menghabiskan sisa-sisa makanan kami lantas melumatnya menjadi cairan yang dapat
digunakan sebagai pupuk cair. BSF ini yang akan menyelamatkan sampah-sampah
organik kami dan menyulapnya menjadi sesuatu yang nantinya juga bermanfaat bagi
kami. Jadi kini yel seusai makan kami adalah, “BSF mau sisa makanan ini nggak
ya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar