Perayaan Nyepi
tahun ini jatuh besok Sabtu (21/03). Kemarin (19/03) saya berkesempatan untuk
melihat secara langsung upacara Melasti di Pantai Ponjok Batu, Buleleng, Bali
Utara. Sebelum berangkat ke pantai, kami berganti busana, mengenakan kain,
kebaya, dan iket terlebih dahulu. Saya yang di Jawa jarang mengenakan kain
tentu sangat awam bagaimana caranya. Tidak rapi sama sekali sampai akhirnya Ibu
membetulkan cara saya mengenakan kain.
Melasti atau
melis merupakan ritual penyucian diri bagi umat Hindu di Bali untuk menyambut
hari raya Nyepi. Upacara ini dilangsungkan bersama-sama satu desa di pantai
atau di sumber-sumber mata air lain seperti danau. Umat Hindu percaya bahwa
dengan melaksanakan melasti maka air kehidupan (tirta amerta) akan menghanyutkan segala hal yang buruk jauh ke laut.
Melasti ramai-ramai satu desa hanya dilakukan setahun sekali menjelang Nyepi.
Oleh karena itu, ibadah ini terasa begitu istimewa dan membawa kebahagiaan
tersendiri bagi penganut Hindu.
Satu per satu
umat Hindu berdatangan meski saat itu matahari tepat di atas kepala. Panas
begitu menyengat, dan pantai sangat ramai. Suhu udara tidak menyurutkan niat
mereka untuk menghadap kepada Tuhan. Wanita-wanita Bali membawa makanan-makanan
yang telah ditata, disunggi di atas kepala sebagai maturan (penghaturan) kepada Tuhan. Makanan-makanan itu akan
dibariskan di tepi pantai, diatata kembali, dan tidak lupa menyalakan batang-batang
dupa. Aroma dupa pun seketika meruap ke udara. Saya berkeliling, mengamati apa
yang mereka lakukan, sesekali menjepret. Sesekali kaki menyentuh butiran pasir
pantai yang panas. Badan kamera turut memanas, hingga akhirnya saya dan Hafs
memutuskan untuk berteduh di bawah pohon, di ujung pantai.
Tak kalah
padat, masyarakat banyak yang telah berteduh di bawah pepohonan tersebut. Saya
dan Hafs dengan jilbab yang kami kenakan, berniat turut serta duduk di atas
batu-batu pantai itu. Sontak kami pun seakan menjadi pusat pandangan mata.
Orang-orang menatap. Seorang Bapak bertanya, “Mau ke mana Dik?”. Beberapa saat
kemudian, seseorang yang mulanya duduk di batu atas beranjak turun, menghampiri
kami. Duduk di sebelah saya dan menanyakan hal yang sama, “Dari mana? Kok
bawa-bawa kamera segala? Tinggal di mana?” Dikiranya kami adalah reporter
karena beliau kemudian berkata tumben ada yang sampai ke sini padahal biasanya
tidak ada apa-apa. Hingga akhirnya beliau mengajak berfoto bersama.
Orang-orang
Bali begitu ramah dengan keberadaan saya di sana. Saya senang dapat melihat
langsung mereka melakukan Melasti, meski mereka pun memandang saya dengan sorot
mata yang tidak biasa. Menjadi minoritas adalah ketakutan pertama saya sebelum
akhirnya membulatkan niat untuk berangkat ke Bali. Namun setelah menjalani di
sini, saya merasa bahwa di tengah minoritas ini tersembul keramahan yang lain.
Bahwa menjadi minoritas berarti kita akan belajar mengerti dan memahami adat
dan budaya setempat. Belajar menghargai kebiasaan-kebiasaan yang tidak biasa di
lingkungan sebelumnya.
Orang-orang
yang hampir semuanya berpakaian warna putih satu per satu duduk rapi menghadap
laut dan makanan. Saya pun lekas beranjak, melangkah menuju tengah mereka. Dengan
dipandu pemangku, mereka mulai bersembahyang, mengangkat tangan yang
ditangkupkan hingga sebatas kepala beberapa kali. Saat itulah suasana terasa
hening, khusyu’. Selepas itu para
pemangku melangkah ke depan menuju perangkat-perangkat yang turut serta dibawa.
Para pemangku akan berkeliling, memercikkan air suci dan memberikan sejumput
beras kepada seluruh umat yang datang. Beras itu akan dibagi beberapa untuk
ditempelkan di dahi, pelipis kanan dan kiri, bawah leher, serta di belakang
daun telinga.
Setelah itu
umat Hindu kembali menangkupkan tangan dan menaikkan hingga setinggi kepala.
Dengan begitu keseluruhan ritual Melasti telah selesai. Makanan yang tadinya
dibawa maturan, diambil kembali dan boleh dimakan. Saat itulah semua umat berdiri
dan beranjak pulang. Suasana terasa sangat ramai. Pecalang pun bersiap
mengamankan jalanan lagi yang macet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar